Di balik pesona bahari yang memukau dan keindahan alam yang menakjubkan, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyimpan sebuah ironi yang memikat sekaligus mengusik nurani. Dunia memang mengagumi NTT sebagai salah satu destinasi wisata terbaik di Indonesia; bahkan pada tahun 2020, Lonely Planet menganugerahkan gelar “Best Value Destination To Visit” kepada provinsi ini, menegaskan pesona yang tiada tara dan nilai pariwisata yang menjanjikan.
Namun, di saat gemerlap penghargaan dan kemilau perhatian dunia melancar keindahan pesisir dan budaya, ada sisi lain yang tersembunyi realita pahit yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Di balik panorama yang memesona, anak-anak NTT masih bergulat dengan keterbatasan akses pendidikan yang layak, yang menjadi luka terselubung dalam surga tropis ini. Keindahan yang terlihat oleh mata wisatawan belum sepenuhnya dirasakan oleh generasi muda yang seharusnya menjadi masa depan daerah ini.
Masih banyak anak-anak di pelosok daerahnya masih berjuang keras untuk meraih pendidikan. Mereka adalah wajah-wajah polos yang terancam putus sekolah, bukan karena kemalasan, melainkan karena himpitan ekonomi, keterbatasan akses, dan minimnya perhatian terhadap pentingnya pendidikan yang layak.
Data Angka Putus Sekolah (APS) di Kabupaten Sikka, salah satu wilayah di NTT, menjadi cermin nyata dari permasalahan ini. Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten Sikka Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga, APS SD/MI pada tahun 2024 mencapai 0,28%, sementara APS SMP/MTs berada di angka 0,47%.
Meskipun persentasenya tampak kecil, angka-angka ini merepresentasikan ratusan anak yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah setiap tahunnya. Lebih jauh lagi, data historis dari Februari 2021 mengungkapkan skala tantangan yang lebih besar: sekitar 60% atau kurang lebih 160.000 jiwa warga Sikka memiliki tingkat pendidikan SD ke bawah.
Angka ini meskipun mencakup populasi secara umum, secara jelas menggambarkan fondasi pendidikan yang masih rapuh dan berpotensi memicu tingginya angka putus sekolah di kalangan usia muda yang seharusnya masih bersekolah.
Anak-anak ini menghadapi berbagai faktor penyebab yang kompleks dalam perjuangan mereka untuk tetap bersekolah. Faktor ekonomi menjadi pemicu utama, di mana kemiskinan keluarga seringkali memaksa anak-anak untuk membantu mencari nafkah, mengesampingkan pendidikan mereka.
Penghasilan orang tua yang tidak menentu dan tanggungan keluarga besar juga menjadi beban berat. Selain itu, kurangnya motivasi intrinsik anak akibat rasa bosan atau jenuh dengan lingkungan belajar turut berkontribusi.
Dari sisi keluarga, tingkat pendidikan orang tua yang rendah dan kurangnya perhatian terhadap pendidikan anak memperparah situasi. Belum lagi faktor lingkungan seperti pergaulan yang salah yang menjurus pada kenakalan remaja atau bahkan pernikahan dini, serta akses yang sulit ke sekolah di daerah-daerah terpencil, semuanya menjadi hambatan besar bagi mimpi mereka untuk terus belajar.
Tangisan mereka bukan hanya sekadar keluhan, melainkan seruan mendalam untuk perhatian dan tindakan nyata. Lihatlah bagaimana anak-anak yang masih bersemangat bersekolah harus dipatahkan begitu saja. Mereka yang hadir di bangku sekolah, merajut cita-citanya dengan penuh harapan.
Ada yang menempuh ke sekolah dengan jarak berkilo-kilometer dengan Sepatu sobeknya. Ada juga yang merajut mimpi dengan rumah dihiasi lentera lilin yang menerangi setai sudut rumahnya.
Ini adalah panggilan bagi kita semua Pemerintah, masyarakat, mahasiswa, organisasi/komunitas, bahkan para wisatawan yang mencintai NTT, untuk tidak hanya menikmati keindahannya tetapi juga berkontribusi pada pembangunan sumber daya manusianya.
Keindahan sejati sebuah daerah tidak hanya diukur dari pemandangan alamnya, tetapi juga dari kesejahteraan dan masa depan generasi mudanya.
Keindahan Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak akan pernah utuh tanpa jaminan bahwa setiap anak di wilayah ini memperoleh hak fundamentalnya untuk bersekolah dan mengenyam pendidikan yang layak.
Pendidikan bukan hanya soal membuka buku atau hadir di kelas; ini adalah kunci pembebasan dari rantai kemiskinan dan ketertinggalan yang sudah terlalu lama membayangi anak-anak NTT.
Dengan memastikan pendidikan yang merata dan inklusif, kita tidak hanya menorehkan masa depan yang cerah bagi generasi penerus, tetapi juga menciptakan keindahan yang berkelanjutan — keindahan yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan sekadar tampak di mata wisatawan.
Sudah terlalu banyak anak-anak yang menanggung pahitnya ketidakadilan pendidikan; tertinggal di belakang tanpa adanya perhatian serius dari kita semua.
Ini bukan hanya soal pembangunan fisik yang megah, melainkan soal kemanusiaan yang mendasar.
Mari kita hentikan siklus ketertinggalan ini. Jangan biarkan mereka terus merasakan luka yang sama. Tindakan nyata dan keberanian untuk bertindak adalah satu-satunya jalan agar surga di NTT benar-benar menjadi rumah bagi harapan dan keadilan pendidikan.
Mohamad Zidan Yayan adalah penulis lepas dari Maumere juga kader IMM Kabupaten Sikka.
Editor: Naruddin