Prada Lucky Saputra Namo, prajurit berusia 22 tahun yang baru saja menapaki langkah pertama sebagai tamtama TNI AD pada Juni 2025, seharusnya melangkah menuju masa depan yang penuh harapan. Namun, pada 6 Agustus 2025, harapannya hancur dalam deretan jeritan tak bersuara ketika ia menjadi korban penyiksaan berulang‑ulang oleh senior‑seniornya di Batalyon Yonif Teritorial Pembangunan/834 Waka Nga Mere, Nagekeo, Flores.
Di antara dentuman langkah kaki yang seharusnya melindungi, nyawa sang prajurit melayang di tangan rekan sesama, menyingkap kegagalan institusi militer yang seharusnya menjadi benteng perlindungan bagi anak buahnya.
Setiap pukulan, setiap sapuan cambuk, menorehkan luka pada tubuh muda yang baru saja menapaki seragamnya, sekaligus menggoreskan luka pada hati bangsa yang menanti keadilan.
Di ruangan sempit itu, di antara bisikan ketakutan yang teredam, Prada Lucky berteriak dalam diam, memanggil nama‑nama mereka yang seharusnya menegakkan disiplin, namun justru menumpahkan kegelapan. Aparat yang “ringan tangan” tampak menutup telinga, menepis jeritan, membiarkan tirani internal berlanjut tanpa pengawasan.
Kejadian ini tidak hanya menorehkan satu nama dalam daftar korban, ia menyalakan obor pertanyaan: mengapa pelindung menjadi pelaku? Bagaimana seorang institusi yang mengemban amanat melindungi kedaulatan bisa menenggelamkan suara seorang prajurit muda dalam gelap?
Setiap tetes darah yang tumpah menuntut pertanggungjawaban, setiap napas yang terhenti menuntut transparansi, dan setiap keluarga yang berduka menuntut keadilan yang tidak boleh tertunda.
Kini, gema tragedi Prada Lucky menggema di seluruh lapangan, menantang TNI untuk menatap kembali cermin kebijakan, menegakkan standar disiplin, dan menyingkap tabir “ringan tangan” yang melindungi pelaku. Jika tidak ada perubahan, kisah ini akan terus berulang, menambah daftar nama yang hilang dalam diam—namun hari ini, nama Prada Lucky berdiri sebagai saksi bisu yang menuntut perubahan.
Beberapa Catatan Penting
Menurut laporan Kompas, Lucky diduga disiksa selama berhari‑hari oleh sekitar 20 orang senior, termasuk pencambukan dengan selang, pemukulan, dan penahanan yang menyebabkan kondisi tubuhnya drop.
Selama perawatan intensif sejak 2 Agustus 2025, pimpinan batalyon tidak pernah menginformasikan kondisi kritisnya kepada keluarga, melanggar prosedur medis dan hak dasar manusia. Sepriana Paulina Mirpey, ibunya, baru dapat menemuinya setelah menempuh perjalanan jauh ke lokasi tugas, hanya untuk menyaksikan napas terakhir anaknya.
Media CNN Indonesia mencatat bahwa empat prajurit TNI telah ditetapkan sebagai tersangka dalam penyelidikan, namun proses penetapan ini terasa lambat dan kurang transparan.
Sementara Detik.menyoroti dugaan pembunuhan yang dirancang oleh senior‑senior tersebut, menambah beban kecurigaan bahwa tindakan kekerasan ini tidak sekadar insiden individu melainkan bagian dari budaya impunitas yang terpendam di dalam struktur militernya.
Demi Nama Baik Institusi Kasus di Tutupi
Kejadian ini menampakkan kekosongan mekanisme pelaporan internal. Tidak ada catatan resmi tentang pelaporan medis atau upaya penyelamatan yang diberikan, dan keluarga tidak pernah diberi keterangan resmi.
Hal ini menunjukkan ketidakseriusan otoritas militer dalam mengawasi kesejahteraan prajuritnya, sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang apa yang menjadi prioritas: melindungi prajurit atau menutupi kegagalan internal?
Meskipun tersangka sudah ditetapkan, investigasi masih terhalang oleh hierarki militer yang menutup-nutupi proses. Tanpa tim investigasi independen, penyelidikan cenderung menyudutkan pelaku junior sementara menyisihkan tanggung jawab komando atas budaya kekerasan yang dibiarkan berkembang.
Keterlibatan sekitar dua puluh orang senior dalam satu kasus menandakan adanya jaringan kekerasan terstruktur. Ketika pelaku senior merasa aman melakukan tindakan keji tanpa konsekuensi, prajurit junior akan terus menjadi korban, memperkuat siklus kekerasan yang sulit dipatahkan.
Keluarga Lucky tidak pernah mendapat laporan medis yang jelas, bahkan penanganan media tampak minim. Tanpa publikasi real‑time mengenai perkembangan kasus, masyarakat dan organisasi hak asasi manusia tidak dapat melakukan tekanan yang efektif untuk menuntut keadilan.
Respons keagamaan dan sosial menambah dimensi emosional pada tragedi ini. Imam Katolik RD Longginus Bone memimpin doa ekaristi, mengajak umat berdoa “walaupun beda keyakinan, mari kita doakan keselamatan almarhum” dan bahkan memohon agar para pelaku menemukan pertobatan.
Dukungan serupa datang dari masyarakat Kupang yang menuntut penyidikan terbuka dan kompensasi bagi keluarga korban.
Perihal Mencegah Terulangnya Tragedi Serupa
Pertama, pembentukan tim investigasi independen yang tidak terikat pada hierarki militer, dengan wewenang penuh mengakses dokumen medis, saksi, dan rekam jejak komando. Transparansi real‑time melalui publikasi berkala mengenai status medis korban, identitas tersangka, dan langkah hukum yang diambil, sehingga masyarakat dapat memantau proses keadilan.
Kedua, Reformasi struktur pengawasan internal: unit pengawas yang bersifat terpisah dari komando operasional, dengan mandat melaporkan setiap indikasi penyalahgunaan kekuasaan secara anonim.
Ketiga, dukungan bagi keluarga korban: penyediaan kompensasi finansial, pendampingan psikologis, serta akses ke layanan hak asasi manusia untuk memastikan keadilan tidak sekadar formalitas.
Kasus Prada Lucky bukan sekadar episode tragis yang berakhir pada nyawa yang melayang, melainkan cermin kegagalan sistemik yang menempatkan prajurit muda dalam bayang‑bayang ketakutan. Jika aparat terus bersikap ringan tangan, tak hanya reputasi institusi yang tercoreng, melainkan nilai dasar hak asasi manusia yang tergerus.
Saatnya menuntut akuntabilitas, memutus rantai impunitas, dan memastikan tidak ada lagi prajurit muda yang harus menanggung beban kekerasan di dalam barak yang seharusnya menjadi tempat perlindungan.