Pandurakyat.id – Kasus Pati hari ini menjadi peringatan nyala api yang masih menggelora di seluruh pelosok Indonesia, menegaskan bahwa gelombang protes masyarakat belum padam.
Per hari ini, 13 Agustus 2025, ratusan ribu warga Pati menuruni jalan menuntut mundurnya Bupati Sudewo setelah pemerintah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 %, beban yang tak masuk akal bagi petani, pedagang, dan keluarga berpenghasilan rendah.
Demonstrasi massal yang menggema di alun‑alun Pati itu menegaskan bahwa roh pergerakan masih hidup di jalan, bukan sekadar sorotan atau salam interaksi dunia maya. Pengkhianatan Bupati Sudewo yang dulu berjanji meringankan beban warga berubah menjadi beban yang menjerat, menyalakan bara perlawanan yang kini menjadi contoh peringatan bagi kabupaten lain.
Tidak jauh berbeda, Kabupaten Lembata kini berada di persimpangan yang sama, hanya saja latar belakangnya beralih dari soal pajak menjadi proyek geotermal yang kontroversial. Bupati Kanis, yang semula mengusung program unggulan tani‑ternak‑nelayan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani serta nelayan, tiba‑tiba mengumumkan dukungan terhadap eksplorasi geotermal yang dapat merusak lahan pertanian, ternak, dan ekosistem laut.
Keputusan sepihak ini memicu kecaman keras dari Gereja Katolik, para petani, dan nelayan setempat. Dalam Lenten pastoral letter yang dikeluarkan oleh 6 uskup di wilayah Ende menyusul kunjungan Uskup Paulus Budi Kleden, tertulis dengan tegas, “Kami menolak pengembangan proyek geotermal di Flores dan Lembata” karena akan merusak ekosistem alami.
Surat pastoral itu menegaskan bahwa proyek tersebut bertentangan dengan arah utama pembangunan yang seharusnya menjadikan wilayah tersebut sebagai kawasan pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan, dan kelautan.
Di tengah kebingungan ini, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Emanuel Melkiades Laka Lena, menonjol dengan sikap yang banyak dikritik sebagai sossok yang arogan. Ia menyatakan bahwa pemerintah provinsi akan meninjau semua proyek geothermal kendati tanpa melibatkan komunitas lokal, sekaligus menolak untuk membuka ruang dialog yang lebih luas.
Sikap “mengatur dari atas” tanpa mendengarkan aspirasi warga menimbulkan kecaman keras dari aktivis lingkungan dan tokoh agama, yang menilai tindakan sang gubernur sebagai contoh ketidakpedulian terhadap suara rakyat.
Pola yang muncul jelas, bahwa pemimpin daerah mengabaikan janji‑janji pembangunan berkelanjutan demi kepentingan proyek yang kontroversial, sementara pimpinan provinsi menanggapi kritik dengan sikap superior. Kedua kasus ini menegaskan bahwa kebijakan sepihak dapat memicu ketegangan sosial yang meluas, menggerakkan masyarakat untuk mengambil jalan protes fisik sebagai satu‑satunya cara menuntut keadilan.
Persis ketika tubuh sejarah Indonesia dibentuk dari perlawanan, dari pengalaman pelik kolonial sampai Reformasi 1998. Bahwa aksi di jalan merupakan katalis utama perubahan kebijakan; aksi digital saja tidak dapat menggantikan tekanan fisik yang memaksa pemerintah menyesuaikan keputusan.
Kendatipun demikian, bara perubahan harus dimulai dari percikan kecil di barisan pemuda yang sadar, terutama mahasiswa. Seperti yang sudah dilakukan oleh mahasiswa NTT dari berbagai universitas yang menggelar aksi solidaritas di Jakarta dan Kupang, menuntut pemerintah membatalkan proyek geothermal yang mengancam lahan pertanian dan kehidupan petani, pada 9 Februari 2025.
Mereka menekankan bahwa dukungan mereka bukan sekadar ujuk‑ujuk belaka, melainkan bentuk perlawanan nyata atas keputusan sepihak yang mengabaikan kepentingan rakyat.
Persis di situ, jika pemerintah daerah masih menyepelekan suara rakyat seperti yang terjadi di Pati, maka gelombang protes akan mengalir dari satu kabupaten ke kabupaten lain, menyalakan api perlawanan yang tak bisa dipadamkan kembali.
Dalam konteks Lembata, masyarakat kini menunggu jalan bijak pemerintah: peninjauan kembali proyek geotermal, transparansi dalam proses perizinan, serta penegasan kembali komitmen pada program tani‑ternak‑nelayan yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal.
Tanpa langkah tersebut, Pati akan menjadi contoh nyata bukan hanya tentang beban pajak, tetapi tentang bagaimana pengkhianatan kebijakan memicu gerakan massa yang menuntut keadilan.
Kita semua, pemerintah pusat, pemimpin daerah, tokoh agama, dan warga, harus menyadari bahwa pergerakan masa kini masih hidup di jalan dan tidak boleh ditransformasikan menjadi sekadar simbol digital.
Dialog yang konstruktif, kajian dampak lingkungan yang independen, serta komitmen pada pembangunan berkelanjutan menjadi kunci untuk mencegah eskalasi konflik. Jika kita dapat belajar dari kajiadian hari ini, niscaya Indonesia bisa tetap menegakkan prinsip keadilan sosial dan lingkungan tanpa mengorbankan kemakmuran rakyat.