
Oleh :Rahmad Boli Raya
Perkembangan pesat teknologi informasi telah mengubah cara manusia berkomunikasi, membentuk opini, dan berinteraksi dalam ruang publik digital. Media sosial, sebagai salah satu produk utama era digital, memberikan kebebasan bagi individu untuk mengekspresikan pendapat mereka tanpa melalui penyaringan atau regulasi yang ketat. Namun, kebebasan ini tidak selalu diiringi dengan tanggung jawab sosial yang memadai, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan etis. Salah satu contoh nyata adalah kasus penghinaan terhadap profesi guru oleh Riezky “Iky” Kabah melalui platform TikTok. Kasus ini tidak hanya mencerminkan degradasi moral dalam penggunaan media sosial tetapi juga menyoroti lemahnya regulasi dan literasi digital di masyarakat.
Media sosial telah menjadi alat yang ampuh dalam membentuk opini publik. Konsep “networked public sphere” yang dikembangkan oleh Benkler menunjukkan bahwa media sosial telah menggeser kendali wacana dari institusi tradisional ke individu. Dengan hilangnya filter institusional, berbagai opini dan informasi dapat dengan mudah tersebar tanpa melalui verifikasi yang memadai. Dalam kasus Iky, pernyataan kontroversial yang menyudutkan profesi guru memperoleh perhatian luas dan disebarluaskan secara viral. Hal ini menunjukkan bagaimana algoritma media sosial cenderung memprioritaskan konten yang memicu keterlibatan tinggi, meskipun sering kali konten tersebut bersifat provokatif atau menyesatkan. Gillespie dalam penelitiannya menekankan bahwa algoritma yang digunakan oleh platform digital lebih menekankan pada engagement daripada kualitas informasi yang disebarluaskan, yang menyebabkan konten-konten negatif mendapatkan jangkauan yang lebih luas dibandingkan dengan diskusi berbasis fakta.
Dalam perspektif sosiologis, penghinaan terhadap profesi guru mencerminkan erosi status sosial tenaga pendidik di Indonesia. Secara historis, guru dianggap sebagai pilar utama dalam pembentukan karakter dan masa depan generasi muda. Namun, penelitian dari Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan menunjukkan adanya tren penurunan penghormatan terhadap profesi guru dalam satu dekade terakhir. Faktor-faktor seperti ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan, ekspektasi masyarakat yang semakin tinggi, gaji guru yang rendah, serta paparan terhadap narasi negatif di media sosial berkontribusi terhadap degradasi persepsi publik terhadap profesi guru. Lebih lanjut, generalisasi yang dilakukan oleh Iky dapat memperburuk situasi ini dengan menciptakan persepsi bahwa semua guru terlibat dalam praktik yang tidak etis, padahal kasus-kasus individual tidak dapat dijadikan dasar untuk menilai suatu profesi secara keseluruhan.
Dari perspektif psikologis, penghinaan terhadap profesi guru tidak hanya berdampak pada citra profesi guru di lingkungan masyarakat tetapi juga berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis para tenaga pendidik (Guru). Studi Hargreaves menunjukkan bahwa status sosial dan kesejahteraan emosional guru memiliki korelasi erat dengan efektivitas pembelajaran. Guru yang merasa dihargai dan mendapatkan dukungan dari masyarakat cenderung memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam mengajar. Sebaliknya, guru yang terus-menerus mendapatkan stigma negatif dari publik dapat mengalami stres dan burnout, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pendidikan yang guru berikan kepada siswa. Dalam jangka panjang, jika fenomena ini tidak dikendalikan, dapat terjadi krisis regenerasi tenaga pendidik, di mana semakin sedikit individu yang tertarik untuk menjadi guru karena rendahnya penghormatan dan apresiasi terhadap profesi guru tersebut.
Dari sudut pandang etika media, kasus ini menyoroti pentingnya literasi digital dalam membentuk masyarakat yang lebih bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial. Konsep “contextual integrity” yang dikemukakan oleh Nissenbaum menekankan bahwa informasi yang disebarluaskan di media sosial harus dipahami dalam konteks yang tepat agar tidak disalahartikan atau digunakan untuk tujuan yang merugikan. Sayangnya, literasi digital di Indonesia masih berada pada tingkat yang relatif rendah. Data dari Kominfo menunjukkan bahwa indeks literasi digital nasional berada pada angka 3,49 dari skala 5, yang menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum memiliki keterampilan kritis dalam menilai informasi di dunia digital. Kurangnya pemahaman ini berkontribusi terhadap penyebaran informasi yang menyesatkan, serta meningkatnya jumlah kasus ujaran kebencian dan penghinaan di media sosial.
Tanggung jawab dalam menangani permasalahan ini tidak hanya berada di tangan individu tetapi juga di level institusional. Platform media sosial memiliki peran besar dalam menentukan bagaimana informasi disebarluaskan. Studi yang dilakukan oleh Klinger dan Svensson menunjukkan bahwa logika algoritmik yang diterapkan oleh platform seperti TikTok mendorong konten kontroversial untuk mendapatkan eksposur lebih luas. Oleh karena itu, kebijakan moderasi konten yang lebih ketat perlu diterapkan untuk mencegah penyebaran ujaran kebencian dan penghinaan terhadap profesi tertentu. Beberapa negara telah mengadopsi pendekatan regulasi yang lebih tegas dalam menangani permasalahan ini. Jerman, misalnya, menerapkan Network Enforcement Act (NetzDG) yang mewajibkan platform media sosial untuk menghapus konten bermasalah dalam waktu tertentu atau menghadapi sanksi yang berat. Pendekatan seperti ini dapat menjadi model bagi Indonesia dalam mengatur ekosistem media sosial agar lebih sehat dan bertanggung jawab.
Selain regulasi di tingkat platform, pemerintah dan lembaga pendidikan juga memiliki peran dalam meningkatkan literasi digital masyarakat. Program literasi digital yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan dapat membantu siswa memahami konsekuensi etis dari aktivitas mereka di dunia digital. Studi yang dilakukan oleh Stanford History Education Group menunjukkan bahwa intervensi literasi digital yang dirancang dengan baik dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa hingga 29%. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan nasional yang tidak hanya menargetkan pengguna media sosial tetapi juga mencakup edukasi bagi kreator konten agar lebih bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi kepada publik.
Kasus penghinaan terhadap profesi guru di media sosial bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri tetapi merupakan refleksi dari tantangan etis yang dihadapi oleh masyarakat digital kontemporer. Fenomena ini menunjukkan bahwa tanpa adanya regulasi yang ketat, literasi digital yang memadai, serta kesadaran etis yang tinggi, media sosial dapat menjadi alat yang merusak nilai-nilai fundamental dalam masyarakat.
Pendekatan multi-perspektif dan multi-disipliner Sebagai Solusi
Pendekatan multi-perspektif dan multi-disipliner diperlukan untuk menangani tantangan ini secara efektif dengan menggabungkan berbagai elemen yang berkaitan. Pendidikan dan literasi digital harus diperkuat agar masyarakat dapat lebih kritis dalam mengonsumsi informasi serta lebih bertanggung jawab dalam menyebarkannya. Program edukasi yang mencakup pemahaman tentang etika komunikasi digital, dampak ujaran kebencian, serta konsekuensi hukum dari penghinaan di media sosial harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan sejak dini. Di samping itu, kebijakan regulasi terhadap platform digital harus diperbarui dengan mekanisme yang lebih ketat dalam menangani konten bermasalah. Bukan hanya pemerintah yang harus berperan, tetapi juga platform media sosial yang harus bertanggung jawab atas algoritma yang mereka gunakan, sehingga tidak hanya mengejar engagement tinggi tetapi juga memperhatikan dampak sosial dari konten yang mereka sebarkan.
Aspek hukum juga perlu diperkuat dengan memastikan bahwa regulasi terkait ujaran kebencian dan penghinaan di dunia digital diterapkan secara konsisten dan adil. Penegakan hukum yang jelas akan memberikan efek jera kepada pelaku serta memperkuat kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga etika dalam berkomunikasi. Sementara itu, dalam ranah sosial, penghormatan terhadap profesi guru harus direstorasi melalui berbagai kampanye kesadaran yang melibatkan media, komunitas pendidikan, dan tokoh masyarakat. Kampanye ini bertujuan untuk mengembalikan rasa hormat terhadap profesi guru dan memperkuat posisi guru sebagai elemen penting dalam pembangunan bangsa. Institusi pendidikan juga harus memainkan peran lebih aktif dalam membangun lingkungan yang lebih suportif bagi guru, dengan memberikan ruang bagi guru untuk menyampaikan aspirasi serta memastikan kesejahteraan guru tetap menjadi prioritas utama.
Pendekatan multi-disipliner dalam penyelesaian masalah ini juga mencakup aspek psikologis dengan memastikan bahwa guru yang terkena dampak penghinaan dan ujaran kebencian mendapatkan dukungan psikososial yang memadai. Program konseling dan dukungan mental bagi tenaga pendidik harus diperkuat agar Guru dapat menghadapi tekanan yang muncul akibat stigma negatif yang berkembang di masyarakat. Sementara itu, siswa juga harus diberikan ruang dialog yang sehat agar mereka dapat menyampaikan kritik terhadap sistem pendidikan dengan cara yang lebih konstruktif, tanpa perlu menggunakan media sosial sebagai sarana penghinaan atau ujaran kebencian.
Dengan mengintegrasikan berbagai aspek ini, pendekatan multi-perspektif dan multi-disipliner dapat menciptakan solusi yang lebih menyeluruh dalam menangani tantangan moral di era digital. mulai dari edukasi individu, reformasi kebijakan platform digital, hingga revitalisasi penghormatan terhadap profesi guru di tingkat sosial dan penghormatan terhadap profesi Guru yang memiliki peran krusial dalam membangun peradaban. Dengan pendekatan multi-perspektif dan multi-disipliner ini tidak hanya menangani kasus secara reaktif, tetapi juga membangun sistem yang lebih baik agar fenomena serupa tidak berulang di masa depan.
Daftar Referensi
APJII. (2023). Laporan Survei Penetrasi dan Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2023. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
Kemendikbudristek. (2024). Statistik Pendidikan Indonesia 2023/2024. Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan.
Kominfo. (2023). Laporan Tahunan Kementerian Komunikasi dan Informatika 2023. Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.
Puslitjakdikbud. (2022). Status Profesi Guru di Indonesia: Tantangan dan Peluang. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
van Dijck, J., & Poell, T. (2013). Understanding Social Media Logic. Media and Communication, 1(1), 2-14.
We Are Social and Hootsuite. (2024). Digital 2024: Indonesia. We Are Social.
Iky, adalah contoh sederhana dari bentuk penghinaan terhadap guru. Sesungguhnya guru sudah dihina oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang merendahkan guru itu sendiri. Misalnya, pemaksaan guru dalam mengurusi administrasi yang banyak sehingga mengurangi perhatikan dan fokus guru terhadap peserta didiknya. Gaji/honor yang rendah serta pembiaran terhadap pelecehan terhadap profesi guru. Semuanya ini sesungguhnya punya satu tujuan yakni menghancurkan bangsa dan negara