
Baru-baru ini, Aliansi Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (NTT) di Yogyakarta menggelar seminar bertema energi terbarukan dan menyuarakan dukungan terhadap eksplorasi energi panas bumi (geotermal) di Pulau Flores. Dalam seruan yang mereka suarakan, muncul narasi semacam ini: “Sudah saatnya NTT menjadi tuan di negeri sendiri lewat energi bersih dan terbarukan.”
Sekilas, pernyataan ini terdengar heroik dan inspiratif. Ia seolah mewakili semangat kemandirian daerah, energi berkelanjutan, dan perlawanan terhadap ketertinggalan. Namun jika kita tarik lebih dalam ke dasar argumennya, ke lapisan realitas sosial-ekologisnya, kita mulai menemukan satu yang ganjil: seruan yang kencang, tapi basis argumen yang lemah.
Aliansi mahasiswa adalah elemen penting dalam demokrasi. Tetapi ketika mahasiswa mengusung wacana besar seperti energi panas bumi tanpa membekali diri dengan pengetahuan memadai, partisipasi kritis, atau keterlibatan komunitas terdampak, maka gerakan itu lebih mirip euforia ketimbang upaya advokasi. Lalu pertanyaannya: dari mana kalian bicara? Siapa yang kalian wakili? Dan pahamkah kalian betul apa yang sedang kalian dukung?
Kita tidak sedang berbicara tentang teori energi dalam buku-buku akademik. Kita sedang bicara tentang konflik ekologis, penggusuran tanah adat, disorientasi sosial, dan benturan antara pembangunan dan keberlanjutan hidup masyarakat lokal. Semangat menjadi “tuan di negeri sendiri” bisa menjadi bumerang jika ternyata proyek geotermal justru menjadi alat kekuasaan baru yang mengeksploitasi masyarakat dengan kemasan ‘energi bersih’.
Mahasiswa yang berdiri di podium seminar di ruang sejuk Yogyakarta perlu merenung sejenak:
Apakah kalian sudah menyimak suara masyarakat adat di Ulumbu, Mataloko, atau Wae Sano yang selama bertahun-tahun menghadapi konflik akibat proyek geotermal yang katanya “ramah lingkungan”?
Apakah kalian tahu bagaimana panas bumi diambil melalui proses pengeboran yang menembus kantong-kantong uap panas yang tersimpan di bawah tanah, yang berdampak pada struktur geologi, keberadaan mata air, bahkan ekosistem pertanian warga?
Sudahkah kalian tahu siapa pemilik konsesi tambang itu? Siapa yang menikmati hasilnya? Dan siapa yang berpotensi kehilangan tanah, air, bahkan ruang hidupnya?
Mari kita ingat: tidak semua yang berslogan “energi hijau” benar-benar bersih dari konflik dan ketimpangan. Greenwashing menjadi praktik umum dalam proyek-proyek energi terbarukan yang dikuasai oleh korporasi besar dan mengabaikan hak dasar masyarakat lokal. Bahkan proyek energi panas bumi kerap masuk tanpa proses persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara penuh (free, prior and informed consent -FPIC) dari masyarakat adat, sebuah prinsip internasional yang wajib dipenuhi.
Kita bisa belajar dari berbagai dokumentasi seperti film dokumenter “Hidup Bersama Panas Bumi” yang tayang di kanal YouTube Indonesia Baru. Di sana terekam dengan baik bagaimana wajah geotermal tak semata-mata ramah dan menjanjikan, tapi juga mengundang keresahan sosial yang panjang. Jika mahasiswa tak sempat membaca puluhan jurnal akademik soal ini, menonton film itu pun cukup sebagai pengantar rasa tanggung jawab sosial.
Yang lebih memprihatinkan, adalah kecenderungan sebagian mahasiswa membungkus semangat sektarian “kami anak daerah yang paling tahu” lalu menjadikannya tameng untuk menolak kritik. Padahal, kedaulatan energi bukan soal asal usul, melainkan soal keberpihakan pada warga yang akan terdampak langsung. Jika mahasiswa NTT mengklaim membawa aspirasi daerah, maka mereka semestinya terlebih dahulu mendengarkan Flores, bukan hanya bicara atas nama Flores.
Jangan sampai semangat yang katanya memperjuangkan hak rakyat justru berubah menjadi penyambung lidah kepentingan korporasi dengan baju aktivisme. Jika kita tidak hati-hati, mahasiswa bisa menjadi pion dalam narasi pembangunan yang eksploitatif, dengan klaim idealisme yang tidak lagi berpijak pada kenyataan.
Kita butuh energi bersih, ya. Tapi energi bersih tak boleh dibayar dengan relokasi paksa, kerusakan budaya, atau rusaknya sistem kehidupan tradisional masyarakat Flores. Karena jika itu yang terjadi, maka kita tidak sedang menjadi “tuan di negeri sendiri”, kita sedang menjadi tamu tak diundang yang menyerahkan rumah sendiri kepada tangan lain, tanpa tahu isi kontraknya.
Gerakan mahasiswa mestinya dimulai dari pembacaan konteks yang kritis, keberanian mendengar suara akar rumput, dan refleksi intelektual yang mendalam. Jangan sampai seminar, spanduk, dan pernyataan publik hanya menjadi kosmetik moral tanpa dasar pengetahuan dan etika perjuangan.
Menjadi mahasiswa berarti berpihak. Tapi keberpihakan bukan pada suara yang paling lantang, melainkan pada kebenaran yang paling dalam, Ucap penulis Mahasiswa NTT Yogyakarta (Ilhamsyah Muhammad Nurdin)
Menolak keras terhadap eksplorasi terhadap energi panas bumi di tanah adat flores.