
Di tengah dorongan besar transisi energi nasional, berbagai proyek energi panas bumi (geotermal) di Flores, Nusa Tenggara Timur, kini dipromosikan sebagai bagian dari masa depan “hijau” Indonesia. Dari Ulumbu, Mataloko, hingga Wae Sano, proyek-proyek ini disebut sebagai langkah penting untuk menciptakan energi bersih.
Namun di balik narasi “kemajuan” itu, suara perlawanan justru datang dari akar rumput: masyarakat adat di ketiga wilayah ini telah berkali-kali menyatakan penolakan. Di Ulumbu, masyarakat adat telah lama memperingatkan bahwa eksplorasi geotermal merusak ekosistem hutan adat yang menjadi sumber air dan penghidupan. Di Mataloko, warga melaporkan gangguan terhadap lahan pertanian dan penurunan kualitas air. Di Wae Sano, masyarakat adat bahkan telah mengorganisir penolakan terbuka, mempertahankan tanah leluhur mereka yang dianggap sakral dan tak bisa diperdagangkan. Ironisnya, di saat masyarakat di kampung bersuara keras melawan proyek-proyek yang mengancam ruang hidup mereka, sebagian mahasiswa NTT di Jogja justru sibuk menggemakan dukungan terhadap geotermal. Mereka tampil di forum-forum akademik, seminar, dan media sosial, membawa narasi bahwa geotermal adalah solusi energi bersih untuk NTT.
Sayangnya, dukungan tersebut kerap dilepaskan dari konteks sosial dan ekologis yang terjadi di lapangan. Banyak dari mahasiswa ini tak benar-benar mendengar atau memahami aspirasi masyarakat adat yang selama ini paling terdampak. Mereka lebih fasih mengutip argumen pemerintah atau perusahaan energi, ketimbang membuka ruang bagi suara ibu-ibu adat, tetua kampung, atau petani yang kehidupannya terancam. Tanah di Flores bukan sekadar aset ekonomi atau ladang energi. Ia adalah tubuh budaya, ruang spiritual, dan sumber kehidupan. Air, tanah, batu, dan hutan punya makna jauh melampaui hitungan produksi listrik. Ketika geotermal masuk tanpa persetujuan sejati masyarakat adat, yang terjadi adalah perampasan ruang hidup.
Lebih parah lagi, sebagian mahasiswa NTT di Jogja yang mendukung proyek geotermal justru meremehkan gerakan penolakan masyarakat adat di Ulumbu, Mataloko, dan Wae Sano. Mereka menganggap suara-suara perlawanan itu sebagai hambatan bagi kemajuan, atau sekadar karena “ketakutan” dan “kurangnya pemahaman teknologi.” Padahal, di balik penolakan itu tersimpan kesadaran yang dalam akan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Apakah mereka lupa bahwa sebagai kaum terpelajar, mereka justru punya tanggung jawab moral untuk berpihak pada yang lemah, pada masyarakat adat yang terus-menerus dihadapkan pada proses marginalisasi? Bagaimana mungkin mereka berbicara tentang “energi berkelanjutan” bila keberlanjutan hidup masyarakat adat itu sendiri diabaikan?
Apa artinya kemajuan, jika petani kehilangan ladang? Apa artinya energi bersih, jika sumber air rusak dan udara tercemar? Apa gunanya listrik, jika ruang hidup dan kearifan lokal masyarakat Flores dihancurkan?
Sudah saatnya mahasiswa NTT di Jogja berhenti menjadi corong propaganda pembangunan yang tidak kritis. Sudah saatnya mereka turun mendengar suara kampung, mengedepankan prinsip keadilan ekologis, dan mengusulkan alternatif yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan korporasi atau negara semata.
Energi bersih yang sejati adalah energi yang lahir dari persetujuan rakyat, menjaga harmoni dengan alam, dan melestarikan budaya leluhur. Tanpa itu, apa pun namanya (geotermal, transisi energi, atau pembangunan hijau) hanyalah wajah baru dari kolonialisme atas tanah Flores.
Mahasiswa yang seharusnya menjadi jembatan suara rakyat, kini justru tampak menjadi bagian dari mesin propaganda pembangunan. Mereka lupa bahwa geotermal bukan tanpa risiko: penurunan air tanah, pencemaran, potensi gempa mikro, pelepasan gas H2S, dan konflik sosial terbukti terjadi di banyak proyek serupa di Indonesia.
Lebih dari itu, ada pilihan lain yang lebih sesuai dengan karakter alam Flores: energi surya, angin, atau skema energi komunitas berbasis lokal. Tetapi mengapa justru opsi yang menguntungkan korporasi besar yang didukung? Siapa sebenarnya yang diuntungkan?
perlu ditanyakan: dukungan mahasiswa NTT di Jogja atas dasar apa ? Suara mereka mewakili siapa? Suara itu Untuk rakyat di kampung, atau untuk pemerintah dan korporasi energi? Apakah mereka masih berpihak pada masyarakat adat dan keadilan ekologis, atau sudah menjadi corong pembangunan yang lupa akar?
Kemajuan yang merampas tanah leluhur bukanlah kemajuan. Energi bersih yang mengorbankan hak masyarakat adat bukanlah energi berkeadilan.
Mahasiswa NTT di manapun harus ingat: tugas mereka bukan sekadar mengejar modernitas, tapi menjaga kedaulatan rakyat atas tanah, air, dan kehidupan.
Penulis_Idhar Nasire (Mahasiswa Magister Pendidikan Biologi UMM Asal NTT)