• Latest
  • Trending
  • All

Antara Ambisi Representasi dan Krisis Pengetahuan, Kritik terhadap Sikap Prematur Aliansi Mahasiswa NTT dalam Isu Geotermal Flores (NTT)

2 bulan ago
Bendera bajak laut dari serial anime One Piece. (Foto: SCMP).

Fenomena dikibarkan bendera One Piece Jelang HUT RI ke-80, Begini Tanggapan Istana

8 jam ago
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Lalipulhayat (kedua kanan) didampingi Gubernur NTT Melki Laka Lena (kedua kiri), Wakl Gubernur NTT Johni Asadoma (kanan) dan Kadis Pendidikan NTT Ambros Kodo saat memberikan keterangan kepada wartawan di Kupang, Rabu (6/8/2025).

Revitalisasi Sekolah di NTT Dapat Dukungan Dana Rp615 Miliar dari Kemendikdasmen

8 jam ago
Ilustrasi: Lembata di Tangan Kanis-Janji Politik yang Terkatung-katung di Birokrasi Patronase/NLA.

Lembata di Tangan Kanis: Janji Politik yang Terkatung-katung di Birokrasi Patronase

5 hari ago
Ilustrasi Senyum Palsu Surga NTT: Pendidikan yang Bikin Nangis Anak-Anak/Foto: ANTARA/HO-INOVASI NTT.

Senyum Palsu Surga NTT: Pendidikan yang Bikin Nangis Anak-Anak

1 minggu ago
Suasana kelas Ekologi di Simpang Lima Wangatoa, Lewoleba, Lembata, Sabtu 26 Juli 2025. Dok: Istimewa.

Hijau Sejak Dini: Kelas Ekologi dari Koalisi Kopi Lembata

1 minggu ago
NTT di Bawah Bayang- Bayang Perdagangan Manusia

NTT di Bawah Bayang- Bayang Perdagangan Manusia

1 minggu ago
Miskin Itu Dosa? Stigma yang Membunuh Mimpi Generasi Muda

Miskin Itu Dosa? Stigma yang Membunuh Mimpi Generasi Muda

1 minggu ago
Gotong royong membersihkan halaman dan ruangan gereja/Dok.Istimewa.

Mahasiswa NTT di Semarang Perkuat Citra Toleransi dan Solidaritas Lewat Bakti Sosial

1 minggu ago
Darah, Luka, dan Diam: Kisah Perempuan Rote yang Tak Bisa Dibungkam

Darah, Luka, dan Diam: Kisah Perempuan Rote yang Tak Bisa Dibungkam

2 minggu ago
Langkah Sunyi Menyulam Asa

Langkah Sunyi Menyulam Asa

2 minggu ago
Menyuarakan Tangis Sunyi Anak-Anak NTT di Hari Anak Nasional

Menyuarakan Tangis Sunyi Anak-Anak NTT di Hari Anak Nasional

2 minggu ago
Buku-Mark-Manson/Gougle.com.

Mari! Saya ceritakan Stelan Cuek (Setecu) ala bapak-bapak Amrik

2 minggu ago
No Result
View All Result
  • Editorial
  • Pandu Aktual
    • Berita Daerah
    • Berita Nasional
  • Pandu Opini
  • Pandu Inspirasi
  • Pandu Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Pandu Literasi
    • Karya Seni dan Budaya
    • Film dan Dokumenter
    • Ulasan Buku
  • Pandu Teknologi
pandurakyat.id
Kamis, Agustus 7, 2025
No Result
View All Result
  • Editorial
  • Pandu Aktual
    • Berita Daerah
    • Berita Nasional
  • Pandu Opini
  • Pandu Inspirasi
  • Pandu Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Pandu Literasi
    • Karya Seni dan Budaya
    • Film dan Dokumenter
    • Ulasan Buku
  • Pandu Teknologi
No Result
View All Result
pandurakyat.id
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home Pandu Opini

Antara Ambisi Representasi dan Krisis Pengetahuan, Kritik terhadap Sikap Prematur Aliansi Mahasiswa NTT dalam Isu Geotermal Flores (NTT)

by Tim Redaksi
06/17/2025
in Pandu Opini
0
169
SHARES
2.1k
VIEWS
Bagikan

Oleh: Rahmad Boli Raya

Saya bukan ahli lingkungan, bukan pula bagian dari komunitas aktivis lingkungan hidup. Tapi sebagai seseorang yang membaca, mengamati, dan berpikir secara kritis, saya merasa perlu berbicara. Ketika sebuah kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Mahasiswa NTT di Yogyakarta dengan lantang mendukung proyek geotermal di Flores (NTT), saya melihat ada yang keliru, bahkan mencoreng hakikat keberadaan mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu, saya tidak sedang menyerang secara personal, tapi mencoba mengkaji dari sisi akademis agar yang bersikap dengan arogansi intelektual paham apa sebenarnya yang sedang didukung.

Baca juga

Kelompok-Tani-An-nida-Laporkan-Dugaan-Penggelapan-Dana-Bansos-ke-Polsek-Omesuri-4-120x86 Antara Ambisi Representasi dan Krisis Pengetahuan, Kritik terhadap Sikap Prematur Aliansi Mahasiswa NTT dalam Isu Geotermal Flores (NTT)

Atas Nama Siapa Kalian Bicara? Menyoal Representasi Mahasiswa NTT Yogyakarta Mendukung Energi Panas Bumi

2 bulan ago
2.1k

Gerakan Bongkar Bandar: Antara Perlawanan terhadap Narkoba dan Kontroversi di NTB

5 bulan ago
2.1k

Senyum Palsu Surga NTT: Pendidikan yang Bikin Nangis Anak-Anak

1 minggu ago
2k

Ketika Legitimasi Dibangun di Atas Kevakuman Data

Dalam deklarasinya pada seminar 15 Juni 2025, aliansi mahasiswa tersebut mengklaim bahwa proyek panas bumi adalah bagian dari solusi atas krisis energi, serta bentuk kontribusi bagi pembangunan daerah. Namun dukungan tersebut dilontarkan tanpa menyentuh realitas sosial dan ekologis yang telah berlangsung bertahun-tahun di Ulumbu, Mataloko, maupun Wae Sano. Apakah mereka pernah ke sana? Apakah mereka menyimak langsung suara warga yang mengalami pencemaran udara, kehilangan sumber air, atau bahkan diintimidasi hanya karena menyuarakan penolakan?

Data empiris menunjukkan realitas yang sangat berbeda dengan narasi “energi hijau” yang mereka usung. Di Mataloko, warga melaporkan masalah kesehatan, kerusakan rumah, dan hilangnya produktivitas pertanian, terutama untuk kopi, cengkeh, alpukat, dan sayuran. Ini bukan sekadar keluhan subjektif, tetapi dampak terukur yang telah menghancurkan mata pencaharian masyarakat lokal.

Lebih tragis lagi, proyek geotermal di Mataloko mengalami kegagalan dan berdampak negatif. Terjadi kebocoran. Lumpur meluap dan merusak lahan penduduk. Fakta ini menunjukkan bahwa teknologi yang diagung-agungkan sebagai “ramah lingkungan” ternyata meninggalkan jejak kerusakan nyata. Bagaimana mungkin sebuah aliansi mahasiswa mendukung ekspansi teknologi yang telah terbukti gagal dan merusak?

Mengatasnamakan masyarakat NTT tanpa riset, tanpa dialog, dan tanpa pijakan empiris adalah bentuk kebohongan akademik dan pengkhianatan moral. Dalam ilmu sosial, ini disebut sebagai false representation, ketika identitas kolektif dipakai untuk melegitimasi kepentingan politik pribadi atau kelompok kecil. Pierre Bourdieu dalam konsep “kekerasan simbolik” menjelaskan bagaimana kelompok dominan menggunakan legitimasi akademik untuk memaksakan pandangan mereka kepada kelompok yang marginal. Inilah yang sedang terjadi di Flores (NTT), mahasiswa yang seharusnya menjadi suara kritis justru menjadi corong yang melegitimasi proyek ekstraktif atas nama “kemajuan.”

Geotermal Bukan Sekadar “Energi Hijau”

Benar bahwa geotermal adalah sumber energi terbarukan yang rendah emisi. Tapi rendah emisi tidak berarti tanpa risiko. Fakta menunjukkan, di Flores, proyek-proyek ini telah meninggalkan jejak konflik sosial, fragmentasi komunitas adat, bahkan kerusakan lingkungan yang tak dipulihkan. Menutup mata terhadap semua ini atas nama “kedaulatan energi” hanyalah reproduksi retorika korporasi semata.

Studi komprehensif yang dilakukan World Bank mengungkapkan bahwa jalan akses proyek merupakan penyebab utama risiko dan dampak sosial serta lingkungan yang terkait dengan pengembangan tenaga panas bumi di kawasan hutan. Ini menunjukkan bahwa dampak geotermal tidak terbatas pada operasional pembangkit, tetapi mulai dari fase konstruksi yang merusak ekosistem hutan.

Lebih lanjut, meskipun energi panas bumi itu sendiri mungkin tidak berbahaya bagi lingkungan, membangun pembangkit memerlukan infrastruktur seperti jalan, yang dapat memiliki konsekuensi lingkungan dan sosial bagi satwa liar yang terancam punah, pasokan air tawar, serta nilai-nilai budaya dan agama. Pernyataan ini menggarisbawahi kompleksitas dampak yang sering diabaikan dalam narasi sederhana “energi bersih.”

Energi hijau bisa menjadi wajah baru dari ekstraktivisme, jika dijalankan tanpa keadilan ekologis dan partisipasi sejati warga. Konsep “green grabbing” yang dikembangkan oleh James Fairhead menjelaskan bagaimana proyek-proyek lingkungan dapat menjadi alat baru untuk merampas tanah dan sumber daya komunitas lokal. Di Flores NTT kita menyaksikan fenomena ini secara langsung, mereka menyoroti ancaman yang ditimbulkan oleh proyek tersebut, termasuk deforestasi, penipisan air, dan pemindahan komunitas adat. Mereka juga mengutuk kehadiran personel yang punya kekuasan digunakan untuk mengintimidasi mereka yang menentang proyek tersebut.

Mendukung proyek ini tanpa mempertimbangkan konteks lokal dan resistensi masyarakat sama saja dengan menyetujui bentuk baru dari kolonialisme modern. Inilah yang disebut Arturo Escobar sebagai “kolonialitas alam”, di mana pengetahuan tekno-saintifik Barat digunakan untuk melegitimasi ekstraksi sumber daya di Global South dengan dalih modernisasi dan pembangunan.

Mahasiswa Jangan Jadi Alat Kekuasaan

Mahasiswa adalah mereka yang seharusnya berdiri bersama yang tertindas. Bukan justru menjadi alat dari narasi pembangunan yang diproduksi dari ruang-ruang kekuasaan. Sikap Aliansi Mahasiswa NTT di Yogyakarta dalam kasus ini bukanlah cerminan aktivisme yang kritis dan berani, melainkan bentuk ketergesa-gesaan dalam pencarian legitimasi politik.

Antonio Gramsci dalam konsep hegemoni menjelaskan bagaimana kelas penguasa mempertahankan dominasinya tidak hanya melalui kekerasan, tetapi juga melalui persetujuan yang diproduksi oleh intelektual organik. Dalam konteks Flores, mahasiswa yang mendukung proyek geotermal tanpa kajian kritis justru berperan sebagai intelektual organik yang melegitimasi kepentingan korporasi.

Tanpa riset lapangan, tanpa konsultasi yang bermartabat dengan masyarakat terdampak, dan tanpa refleksi etis terhadap dampak jangka panjang, dukungan terhadap proyek geotermal menjadi bukan sikap ilmiah, melainkan arogansi aktivisme yang dangkal. Paulo Freire dalam “Pedagogi Kaum Tertindas” menekankan pentingnya praxis, penyatuan refleksi dan aksi yang kritis. Mahasiswa yang mendukung proyek geotermal tanpa praxis ini justru melakukan apa yang Freire sebut sebagai “aksi tanpa refleksi” yang tidak lebih dari aktivisme buta.

Data menunjukkan bahwa penolakan masyarakat terjadi di berbagai daerah di mana eksploitasi panas bumi terjadi di kawasan hutan konservasi. Fenomena ini bukan kebetulan, tetapi respons rasional terhadap ancaman nyata terhadap kehidupan mereka. Mengabaikan suara-suara ini atas nama “kemajuan” adalah bentuk epistemisida pembunuhan terhadap sistem pengetahuan lokal yang telah memelihara ekosistem selama berabad-abad.

Dalam konteks Indonesia, kita perlu belajar dari kasus serupa di daerah lain. Pulau Flores memiliki banyak potensi panas bumi, sehingga sering disebut pulau panas bumi. Namun, banyak penolakan. Pola penolakan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat lokal memiliki pengetahuan ekologis tradisional yang memungkinkan mereka memahami risiko jangka panjang yang mungkin tidak terlihat dalam perhitungan tekno-ekonomi jangka pendek.

Suara dari Lapangan

Realitas di lapangan jauh lebih kompleks dari narasi sederhana yang diusung Aliansi Mahasiswa NTT. Kondisi topografi Poco Leok yang curam menggandakan risiko tanah longsor. Ini menunjukkan bahwa setiap lokasi memiliki keunikan geologis dan sosial yang memerlukan kajian mendalam, bukan pendekatan one-size-fits-all.

Lebih jauh, kegagalan proyek sebelumnya di Mataloko seharusnya menjadi pelajaran penting. Namun alih-alih belajar dari kegagalan, ada upaya untuk mengulang kesalahan yang sama di lokasi lain. Ini mencerminkan apa yang disebut Albert Einstein sebagai “insanity” melakukan hal yang sama berulang-ulang sambil mengharapkan hasil yang berbeda.

Para aktivis lingkungan seperti Vandana Shiva telah lama memperingatkan bahaya “monokultur pikiran” dalam pendekatan pembangunan. Proyek geotermal di Flores adalah contoh nyata bagaimana monokultur pikiran ini mengabaikan kearifan lokal dan keragaman ekologis demi mencapai target-target kuantitatif yang abstrak.

Akhir Kata: Buka Mata, Buka Buku, dan Buka Hati

Kritik ini tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan siapa pun. Tapi ini adalah panggilan agar mahasiswa termasuk yang tergabung dalam aliansi manapun, kembali pada ruh intelektualitas yang otentik: membaca sebelum bicara, mendengar sebelum bersuara, dan riset sebelum bertindak.

Flores bukan sekadar titik panas bumi. Ia adalah ruang hidup, tanah adat, dan warisan ekologis yang tak bisa dihitung dengan angka-angka pertumbuhan semu. Rob Nixon dalam “Slow Violence” mengingatkan kita bahwa kerusakan lingkungan sering kali tidak dramatis dan tidak terlihat, tetapi berdampak jangka panjang yang menghancurkan. Inilah yang sedang terjadi di Flores, sebuah proses slow violence yang dilegitimasi oleh narasi pembangunan berkelanjutan.

Maka sebelum kalian bicara atas nama rakyat, belajarlah terlebih dahulu tentang rakyat itu sendiri. Ini bukan sekadar slogan, tetapi imperatif etis bagi setiap intelektual yang mengklaim berbicara untuk kepentingan publik.

Penutup

Pulau Flores bukan hanya titik panas bumi, tetapi juga rumah dari sejarah, adat, dan identitas kolektif masyarakatnya. Mengintervensi tanah ini tanpa memahami konteksnya adalah bentuk arogansi modernisme yang telah terbukti gagal di banyak tempat.

Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi geotermal hingga 28,61 GW, namun baru mengembangkan 7,6% dari potensi tersebut. Namun angka-angka ini tidak boleh dijadikan justifikasi untuk mengabaikan dampak sosial-ekologis. Sebaliknya, rendahnya tingkat pengembangan ini seharusnya mendorong kita untuk mengembangkan pendekatan yang lebih participatory dan just transition.

Maka, mahasiswa yang mengatasnamakan NTT semestinya bertanya kembali pada nurani intelektual mereka, apakah suara yang mereka serukan benar-benar dari rakyat, atau hanya gema dari ruang hampa kepentingan? Jawaban atas pertantaan ini akan menentukan apakah mereka layak disebut sebagai intelektual organik rakyat, atau sekadar teknokrat yang menyamarkan kepentingan elite dengan retorika akademis.

Kita memerlukan pendekatan ekologi politik yang menempatkan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis sebagai prioritas utama, bukan sekadar target-target kuantitatif yang abstrak. Ini memerlukan dialog yang tulus dengan masyarakat adat, pengakuan terhadap knowledge systems lokal, dan komitmen terhadap free, prior, and informed consent dalam setiap tahap pengembangan proyek. Hanya dengan cara inilah energi terbarukan dapat menjadi bagian dari solusi yang emansipatoris, bukan sekadar reproduksi ekstraktivisme dengan wajah hijau.

Rahmad Boli Raya merupakan Mahasiswa Magister BK UAD Yogyakarta Asal NTT

SendShare68Scan
Tim Redaksi

Tim Redaksi

Baca juga

Bendera bajak laut dari serial anime One Piece. (Foto: SCMP).

Fenomena dikibarkan bendera One Piece Jelang HUT RI ke-80, Begini Tanggapan Istana

by Tim Redaksi
08/06/2025
0
1.9k

Pandurakyat.id -...

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Lalipulhayat (kedua kanan) didampingi Gubernur NTT Melki Laka Lena (kedua kiri), Wakl Gubernur NTT Johni Asadoma (kanan) dan Kadis Pendidikan NTT Ambros Kodo saat memberikan keterangan kepada wartawan di Kupang, Rabu (6/8/2025).

Revitalisasi Sekolah di NTT Dapat Dukungan Dana Rp615 Miliar dari Kemendikdasmen

by Tim Redaksi
08/06/2025
0
1.9k

Kementerian Pendidikan...

Ilustrasi: Lembata di Tangan Kanis-Janji Politik yang Terkatung-katung di Birokrasi Patronase/NLA.

Lembata di Tangan Kanis: Janji Politik yang Terkatung-katung di Birokrasi Patronase

by Tim Redaksi
08/01/2025
0
2k

Pandurakyat.id -...

Ilustrasi Senyum Palsu Surga NTT: Pendidikan yang Bikin Nangis Anak-Anak/Foto: ANTARA/HO-INOVASI NTT.

Senyum Palsu Surga NTT: Pendidikan yang Bikin Nangis Anak-Anak

by Tim Redaksi
07/30/2025
0
2k

Di balik...

  • Cerita Konflik Negeri Sawai dan Desa Masihulan di Kecamatan Seram Utara

    897 shares
    Share 359 Tweet 224
  • Kepala Desa Leubatang Desak Penindakan Tegas Terhadap Pelaku Penikaman

    250 shares
    Share 100 Tweet 63
  • Dugaan Penyelewengan Dana Desa Panama, FP2L Desak Pemeriksaan Transparan

    182 shares
    Share 73 Tweet 46
  • Miskin Itu Dosa? Stigma yang Membunuh Mimpi Generasi Muda

    177 shares
    Share 71 Tweet 44
  • Pelajar dan Mahasiswa Leubatang di Yogyakarta Gelar Open Donasi untuk Pembangunan MA Nurul Hadi

    176 shares
    Share 70 Tweet 44

Infografis

EDITORIAL edisi 30 Juli 2025
Pantau terus kami
Opini dari Ilham Nurdin
Facebook Twitter Instagram LinkedIn

Ikuti Kami

Kategori

Informasi

  • Kirim Tulisan
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Copyright: Pandurakyat (2024)

No Result
View All Result
  • Editorial
  • Pandu Aktual
    • Berita Daerah
    • Berita Nasional
  • Pandu Opini
  • Pandu Inspirasi
  • Pandu Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Pandu Literasi
    • Karya Seni dan Budaya
    • Film dan Dokumenter
    • Ulasan Buku
  • Pandu Teknologi

Copyright: Pandurakyat (2024)

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.