
Tulisan ini juga pernah tanyang di politika.
Zaman Bergerak, Agama Harus Berpijak
Islam sebagai agama samawi tidak semata-mata hadir untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga menawarkan sistem nilai yang komprehensif dalam kehidupan sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Sebagai agama yang bersifat universal, Islam mengandung nilai-nilai abadi yang relevan untuk diterapkan dalam berbagai zaman dan konteks sosial. Namun, agar tetap kontekstual, nilai-nilai ini perlu senantiasa diaktualisasikan. Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam modern di Indonesia, memainkan peran penting dalam menjadikan Islam sebagai panduan hidup yang dinamis dan berkemajuan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengemukakan bahwa dakwah Islam kontemporer tidak boleh terjebak pada formalitas, melainkan harus berorientasi pada humanisasi, emansipasi, dan transendensi. Islam harus menjadi kekuatan peradaban, bukan hanya doktrin yang beku.
Di tengah derasnya arus globalisasi, disrupsi teknologi, degradasi moral, dan krisis sosial-ekologi, umat Islam Indonesia dihadapkan pada pertanyaan fundamental: Bagaimana menjadikan Islam tetap relevan, membumi, dan memberi solusi? Di sinilah Muhammadiyah hadir membawa gagasan besar: Islam Berkemajuan. Sebuah konsep yang tidak sekadar membumikan ajaran Islam secara kontekstual, tetapi juga membawanya menjadi energi transformasi sosial dan peradaban.
Islam Berkemajuan adalah bentuk ijtihad modern untuk merumuskan praktik keberagamaan yang rasional, dinamis, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Ia menghindari bentuk-bentuk keberagamaan yang dogmatis dan tekstualis sempit, serta menolak paham ekstrem yang memisahkan Islam dari realitas sosial dan kebudayaan.
Fondasi Teologis: Islam Sebagai Agama Pembaruan
Konsep Islam Berkemajuan memiliki akar kuat dalam Al-Qur’an dan hadis. Islam mengajarkan umatnya untuk berpikir, berinovasi, dan menyesuaikan diri terhadap dinamika zaman. Dalam Surah Al-Alaq, perintah pertama yang diturunkan adalah “Iqra” bacalah, pahamilah, dan pikirkanlah. Inilah tanda bahwa pembaruan, ilmu, dan transformasi adalah inti dari keislaman itu sendiri.
Prof. Dr. Haedar Nashir menyebut bahwa Islam Berkemajuan bertumpu pada nilai-nilai tauhid, kemanusiaan, ilmu, kerja keras, keadilan sosial, dan akhlak mulia, yang seluruhnya diarahkan untuk membangun kehidupan yang tercerahkan, inklusif, dan progresif.
Agama dan Budaya: Antara Ketegangan dan Harmoni
Muhammadiyah sejak awal tidak menempatkan budaya sebagai musuh agama. Sebaliknya, budaya dianggap sebagai ekspresi manusiawi yang bisa disinergikan dengan nilai-nilai Islam, selama tidak bertentangan dengan akidah tauhid.
- Akulturasi Selektif: Memilah Tradisi, Merawat Akar
Muhammadiyah mengenalkan pendekatan “akulturasi selektif”, yakni menyerap budaya lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sekaligus meninggalkan unsur budaya yang mengandung, tahayul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Dengan cara ini, Islam tampil otentik tanpa menjadi asing di tengah masyarakat.
Pendekatan budaya Muhammadiyah terdiri atas dua dimensi:
- Kritis Apresiatif, yaitu penerimaan terhadap tradisi selama tidak menyimpang dari aqidah Islam.
- Kritik Korektif, yaitu penolakan terhadap unsur budaya yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Contoh nyata dari pendekatan ini terlihat dalam pengelolaan dakwah di daerah-daerah yang kuat tradisi lokalnya. Muhammadiyah tidak serta-merta menolak upacara adat, tetapi menafsir dan membingkai ulang agar selaras dengan nilai-nilai tauhid. Misalnya, acara kenduri yang sarat budaya dapat dikembangkan menjadi sarana syiar sosial dan keagamaan, bukan sebagai sarana ritual magis.
- Islam dan Tradisi: Dari Pemurnian ke Pembaruan
Pada awal abad ke-20, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam yang memurnikan praktik keagamaan dari pengaruh budaya yang dianggap menyimpang. Namun seiring perkembangan, pendekatan Muhammadiyah makin inklusif dan dialogis terhadap kebudayaan. Dari sikap puritan awal, Muhammadiyah kini mengembangkan narasi transformasi budaya, di mana agama tidak mematikan tradisi, tetapi memperbaiki dan memberi makna baru.
Dalam konteks ini, Islam Berkemajuan melihat budaya bukan sekadar warisan nenek moyang, tetapi ladang dakwah yang harus diberdayakan secara bijak. Budaya adalah ruang perjumpaan antara nilai-nilai lokal dan pesan universal Islam.
- Dakwah Kultural: Menciptakan Islam yang Bersahabat dan Kontekstual
Di era digital, strategi dakwah yang kaku dan monologis tidak lagi memadai. Muhammadiyah menyadari hal ini dan mulai mengembangkan pendekatan dakwah kultural, yakni model dakwah yang menggunakan seni, budaya populer, media digital, dan narasi inklusif sebagai sarana penyampaian pesan keislaman.
Dakwah kultural tidak hanya berfungsi untuk memperluas jangkauan pesan Islam, tetapi juga sebagai upaya menghadirkan wajah Islam yang ramah, tidak menyeramkan, serta menghargai keragaman budaya dan ekspresi masyarakat. Hal ini penting dalam membangun Islam sebagai agama yang membumi dan menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat.
Manifestasi Islam Berkemajuan dalam Kehidupan Nyata
Konsep Islam Berkemajuan tidak hanya hidup di atas kertas. Ia telah diwujudkan secara nyata oleh Muhammadiyah dalam berbagai lini kehidupan:
- Pendidikan: Ribuan sekolah, pesantren, dan universitas Muhammadiyah menjadi tempat menanamkan nilai-nilai Islam progresif, inklusif, dan berwawasan global. Kurikulum yang dikembangkan tidak hanya berorientasi pada ilmu agama, tetapi juga pada keilmuan kontemporer dan nilai-nilai kemanusiaan.
- Kesehatan dan Sosial: Rumah sakit dan klinik Muhammadiyah tersebar di seluruh Indonesia, memberikan pelayanan kesehatan berbasis etika Islam dan keadilan sosial. Di bidang sosial, Lazismu dan berbagai badan otonom Muhammadiyah menjadi pelopor filantropi Islam modern.
- Lingkungan Hidup: Muhammadiyah juga aktif dalam isu perubahan iklim dan pelestarian lingkungan. Konsep “Eco-Masjid”, pendidikan ramah lingkungan, dan advokasi keadilan iklim adalah bukti konkret bahwa Islam tidak boleh buta terhadap isu global.
Tantangan dan Peluang: Membumikan Konsep, Meluaskan Gerakan
Meski memiliki dasar kuat, gerakan Islam Berkemajuan tidak luput dari tantangan. Di antaranya:
- Formalisasi Agama: Banyak umat Islam masih terjebak pada ritualisme, namun lemah dalam dimensi sosial dan etika Islam. Kesalehan pribadi sering tidak berbanding lurus dengan keadilan sosial.
- Eksklusivisme dan Fanatisme Budaya: Beberapa kalangan masih menolak pendekatan kultural karena dianggap mengotori agama. Padahal budaya justru bisa menjadi sarana dakwah yang efektif jika dikelola dengan benar.
- Minimnya Literasi Keislaman Kritis: Umat perlu dibekali dengan kemampuan memahami Islam secara kontekstual dan kritis, agar tidak mudah terjebak dalam politisasi agama atau radikalisme.
Di sisi lain, tantangan ini juga menyimpan peluang besar untuk memperkuat peran Muhammadiyah sebagai pionir gerakan Islam progresif di abad ke-21.
Islam Progresif untuk Masa Depan Indonesia
Muhammadiyah dengan konsep Islam Berkemajuan telah menegaskan bahwa Islam bukanlah
agama yang tertinggal oleh zaman. Islam adalah kekuatan pembaruan yang mampu berdialog
dengan budaya, merangkul ilmu pengetahuan, dan membebaskan manusia dari ketertinggalan
dan kebodohan.Di masa depan, Islam Berkemajuan dapat menjadi narasi global yang menjawab krisis kemanusiaan, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial. Syaratnya adalah kita harus berani bergerak, berpikir terbuka, dan menjadikan agama sebagai kekuatan etis yang membebaskan bukan membelenggu.
“Islam yang berkemajuan adalah Islam yang tidak hanya mengajak untuk masuk surga, tetapi
juga memanusiakan manusia dan menjaga bumi tempat hidup kita bersama.” Haedar Nashir”
Penulis:
Nurham Al Afgani, Iin Nadzifah Hamid (Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan)
Dr. Muh. Ikhwan Ahada, S.Ag., M.A (Dosen Mata Kuliah AIK UAD)