
Saya menulis ini sebagai anak muda dari Lembata yang kini sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Tapi di balik ruang kelas dan diskusi akademik yang saya nikmati hari ini, ada perasaan bersalah yang terus mengendap karena saya tahu, ribuan teman seangkatan saya di NTT bahkan tidak sempat bermimpi duduk di bangku kuliah.
Saya membaca laporan investigatif Kompas.id tentang bagaimana pungutan komite di sekolah negeri contohnya SMKN 2 Kota Kupang, dipungut dari orang tua siswa hingga Rp 150.000 per bulan, setara Rp 1,8 juta per tahun per siswa. Jika dikalikan jumlah siswa, dana yang dihimpun mencapai miliaran rupiah. Angka itu belum termasuk dana BOS sebesar Rp 3,5 miliar per tahun. Ironisnya, dengan anggaran sebesar itu, ijazah masih bisa ditahan hanya karena tunggakan biaya. Bahkan hak ikut ujian pun bisa dicabut.
Yang lebih mengejutkan: dana tersebut dipakai membayar honor tambahan guru negeri, kepala sekolah, dan staf, padahal mereka sudah digaji negara lengkap dengan tunjangan sertifikasi dan tunjangan khusus daerah 3T.
Ini bukan hanya cacat moral, tapi juga kesalahan sistemik yang harus segera dihentikan.
Pak Gubernur, Anda Harus Mulai dari Akar Masalah, Bukan Sekadar Menambal Gejala
Saya percaya bahwa masalah pendidikan di NTT tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh dari akar yang dalam: cara pandang pemerintah terhadap pendidikan itu sendiri. Pendidikan diperlakukan seperti beban fiskal, bukan sebagai hak rakyat. Negara hadir sebagai pemungut, bukan pelindung.
Mari kita jujur: komite sekolah bukan solusi, tapi bentuk lepas tangan dari negara. Ketika orang tua dipaksa membayar guru negeri, ketika pembangunan ruang kelas dibebankan ke masyarakat, ketika ijazah menjadi alat tekan, maka yang terjadi adalah pemiskinan struktural melalui pendidikan.
Dan hari ini, kita lihat hasilnya:
- 145.000 anak NTT tidak sekolah, menurut BPMP per Juli 2025.
- 10.590 anak belum pernah sekolah sama sekali.
- 32% saja lulusan SMA/SMK melanjutkan ke perguruan tinggi.
- Anak-anak ditolak oleh sistem, sebelum sempat memilih jalan hidup mereka.
Karena itu, saya mengusulkan perubahan dari akarnya:
- Cabut praktik pungutan komite yang diwajibkan.
Buat regulasi tegas: sekolah negeri tidak boleh memungut uang dari orang tua untuk membayar guru atau kepala sekolah.
- Audit menyeluruh seluruh dana sekolah negeri (Dana BOS dan pungutan) di NTT secara transparan dan partisipatif.
Libatkan masyarakat sipil, mahasiswa, dan Ombudsman. Publikasikan secara daring agar rakyat bisa mengaksesnya.
- Realokasi APBD untuk subsidi pendidikan gratis berbasis kebutuhan sekolah.
Fokus pada infrastruktur dasar (kelas, sanitasi, listrik), bukan proyek mercusuar seperti pagar beton atau stadion mini.
- Bangun sistem pemetaan dan intervensi cepat terhadap Anak Tidak Sekolah (ATS).
Bentangkan program “jemput anak kembali ke sekolah”, dengan pendekatan sosial, bukan administratif.
- Evaluasi ulang distribusi guru dan bentuk sistem zonasi berbasis kebutuhan dan akses.
Jangan tempatkan guru di pusat kota saja. Fokuskan ke daerah pelosok dan kepulauan yang paling kekurangan pengajar.
- Berikan insentif pada sekolah yang berhasil menerapkan pendidikan gratis tanpa pungutan—jadikan mereka model untuk replikasi.
Contohnya: SMKN 2 Kupang Barat, SMAN 3 Borong, SMKN Fatuleu. Mereka membuktikan sekolah negeri bisa dikelola tanpa membebani rakyat.
Pak Gubernur, pendidikan bukan beban anggaran. Ia adalah investasi jangka panjang bangsa. Jika hari ini Anda tidak mengubah pendekatan, maka Anda sedang ikut mencetak generasi NTT yang kehilangan kepercayaan pada negara.
Saya tahu tulisan ini mungkin tidak akan viral, apalagi disambut dengan hangat. Tapi setidaknya saya tahu, saya telah menuliskannya. Sebab diam berarti ikut menyetujui ketidakadilan. Dan sebagai anak dari Lembata, saya tidak akan diam.
Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya salah satu anak dari pulau kecil di ujung Timur, yang beruntung bisa sekolah tinggi. Tapi saya tidak ingin keberuntungan saya dibayar dengan penderitaan diam-diam dari ribuan keluarga miskin yang dipaksa membayar mahal untuk hal yang seharusnya menjadi hak.
Saya mohon, berhentilah menutup mata. Jangan buat anak-anak Lembata, Adonara, Sumba, Alor, dan seluruh pelosok NTT tumbuh dalam kemiskinan pendidikan yang sistematis.
Penulis:
Ilhamsyah Muhammad Nurdin