• Latest
  • Trending
  • All
Langkah Sunyi Menyulam Asa

Langkah Sunyi Menyulam Asa

2 minggu ago
Ilustrasi Etika, Kuasa, dan Tanggung Jawab/pixabay.com.

Etika, Kuasa, dan Tanggung Jawab: Tanggapan untuk Ketua DPRD Kabupaten Alor

2 jam ago
Mantan Kadis Kesehatan Kupang tersangka korupsi dana Kesehatan/Antaranews.

Kejaksaan: Mantan Kadis Kesehatan Kupang tersangka korupsi dana Kesehatan

3 jam ago
Bendera bajak laut dari serial anime One Piece. (Foto: SCMP).

Fenomena dikibarkan bendera One Piece Jelang HUT RI ke-80, Begini Tanggapan Istana

1 hari ago
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Lalipulhayat (kedua kanan) didampingi Gubernur NTT Melki Laka Lena (kedua kiri), Wakl Gubernur NTT Johni Asadoma (kanan) dan Kadis Pendidikan NTT Ambros Kodo saat memberikan keterangan kepada wartawan di Kupang, Rabu (6/8/2025).

Revitalisasi Sekolah di NTT Dapat Dukungan Dana Rp615 Miliar dari Kemendikdasmen

1 hari ago
Ilustrasi: Lembata di Tangan Kanis-Janji Politik yang Terkatung-katung di Birokrasi Patronase/NLA.

Lembata di Tangan Kanis: Janji Politik yang Terkatung-katung di Birokrasi Patronase

6 hari ago
Ilustrasi Senyum Palsu Surga NTT: Pendidikan yang Bikin Nangis Anak-Anak/Foto: ANTARA/HO-INOVASI NTT.

Senyum Palsu Surga NTT: Pendidikan yang Bikin Nangis Anak-Anak

1 minggu ago
Suasana kelas Ekologi di Simpang Lima Wangatoa, Lewoleba, Lembata, Sabtu 26 Juli 2025. Dok: Istimewa.

Hijau Sejak Dini: Kelas Ekologi dari Koalisi Kopi Lembata

1 minggu ago
NTT di Bawah Bayang- Bayang Perdagangan Manusia

NTT di Bawah Bayang- Bayang Perdagangan Manusia

1 minggu ago
Miskin Itu Dosa? Stigma yang Membunuh Mimpi Generasi Muda

Miskin Itu Dosa? Stigma yang Membunuh Mimpi Generasi Muda

1 minggu ago
Gotong royong membersihkan halaman dan ruangan gereja/Dok.Istimewa.

Mahasiswa NTT di Semarang Perkuat Citra Toleransi dan Solidaritas Lewat Bakti Sosial

2 minggu ago
Darah, Luka, dan Diam: Kisah Perempuan Rote yang Tak Bisa Dibungkam

Darah, Luka, dan Diam: Kisah Perempuan Rote yang Tak Bisa Dibungkam

2 minggu ago
Menyuarakan Tangis Sunyi Anak-Anak NTT di Hari Anak Nasional

Menyuarakan Tangis Sunyi Anak-Anak NTT di Hari Anak Nasional

2 minggu ago
No Result
View All Result
  • Editorial
  • Pandu Aktual
    • Berita Daerah
    • Berita Nasional
  • Pandu Opini
  • Pandu Inspirasi
  • Pandu Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Pandu Literasi
    • Karya Seni dan Budaya
    • Film dan Dokumenter
    • Ulasan Buku
  • Pandu Teknologi
pandurakyat.id
Kamis, Agustus 7, 2025
No Result
View All Result
  • Editorial
  • Pandu Aktual
    • Berita Daerah
    • Berita Nasional
  • Pandu Opini
  • Pandu Inspirasi
  • Pandu Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Pandu Literasi
    • Karya Seni dan Budaya
    • Film dan Dokumenter
    • Ulasan Buku
  • Pandu Teknologi
No Result
View All Result
pandurakyat.id
No Result
View All Result
ADVERTISEMENT
Home Pandu Sastra Cerpen

Langkah Sunyi Menyulam Asa

Oleh: Nasruddin

by Tim Redaksi
07/25/2025
in Cerpen, Pandu Sastra
0
Langkah Sunyi Menyulam Asa

Ilustrasi eyes/pixabay.

159
SHARES
2k
VIEWS
Bagikan

Aku merasa… hilang, Mira. Di kampung, aku anak yang dianggap pintar, yang punya mimpi besar. Namun di sini, aku hanyalah sebuah bayangan kecil, bodoh dan tak tahu harus mulai dari mana.”

***

Langit buram menyelimuti kota, menjadi tirai suram bagi sosok yang baru saja menginjakkan kaki di stasiun tua sore itu. Abdi melangkah perlahan, tas usang tersandar pada pundaknya yang masih membawa aroma tanah basah dan sawah yang jauh. Dalam genggaman tangan, buku-buku lusuh itu seperti saksi bisu perjalanan antara kampung yang lembut dan kota yang keras.

Baca juga

No Content Available

Matanya menatap gedung-gedung tinggi, raksasa beton yang menjulang dan seakan menertawakan ketidaksiapannya. Ia merasa seperti semut kecil yang hilang di antara bayang-bayang raksasa itu.

“Ah, kota ini terlalu bising,” gumamnya, lebih tepatnya sebuah pengakuan lirih untuk dirinya sendiri. Suara klakson, deru mesin, dan obrolan cepat berlalu memenuhi ruang telinganya—seolah setiap detik memanggilnya untuk berubah, tapi juga mencekiknya dengan dingin.

Di sebuah warung kopi sederhana, tempat aroma pahit menyapa pagi, Abdi bertemu dengan Mira, satu-satunya penghibur dari wajah lama, teman sejati yang lebih dulu merantau.

Mira menatapnya dengan pandangan lembut tapi penuh pengertian. “Sudah seminggu di kota, bagaimana rasanya kau jalani?” tanyanya sambil menyesap kopi hitam, udara dingin membungkus mereka.

Abdi menunduk, menarik napas panjang merasakan beban berat jatuh di dadanya. “Aku merasa… hilang, Mira. Di kampung, aku anak yang dianggap pintar, yang punya mimpi besar. Namun di sini, aku hanyalah sebuah bayangan kecil, bodoh dan tak tahu harus mulai dari mana.”

Mira membalas senyum itu, ada pahit yang terselip di sudut bibirnya, “Kota bukan hanya ujian untuk otak. Kota akan menguji hatimu, kesabaranmu, bahkan keraguan yang paling gelap…”

“Hatiku,” sahut Abdi, “kadang berkilatan berharap, tapi lebih sering tenggelam dalam bayang kecewa. Aku datang bukan hanya untuk mengukir ilmu, tapi mencari makna. Namun aku justru diliputi kenapa selalu ada ruang kosong yang pelik.”

Mira meletakkan cangkirnya, lalu menatap Abdi dalam, “Terkadang, untuk menemukan arah, kau harus kehilangan segalanya dulu — termasuk dirimu sendiri. Dan dari sana, sesuatu yang baru akan lahir.”

Abdi membiarkan kata-kata itu mengalir dalam sunyi, masuk ke kalbu yang sedang merangkai harapan. Kota memang bising, tapi di dalam kekacauan itu, mungkin ada satu nada yang harus ia dengar.

***

Bulan-bulan berlalu seperti awan kelabu yang tak pernah jelas arah. Abdi menapaki jalan yang tak pernah ia bayangkan: pekerjaan serabutan yang mengoyak tulang dan jiwa. Dari jadi office boy di perusahaan kecil dengan lorong-lorong gelap penuh percikan mimpi yang redup, hingga menjadi penjaga warnet yang berkedip-layarnya bagai jendela ilusi dari dunia lain.

Terakhir, ia menjadi pelayan kafe, menyambut wajah-wajah yang hanya lewat, tanpa tahu cerita di balik langkahnya yang berat.

Setiap malam, Abdi kembali ke kamar kontrakan yang sempit dan pengap, dengan badan yang lelah dan dada yang hampa. Dinding-dinding yang pengap menjadi saksi bisu bagaimana ia terus mempertahankan diri dalam rutinitas yang terasa mengekang. Lampu temaram menggantung, bayangan dirinya di lantai menjadi partner bisu yang tak memahami luka.

Suatu malam, di depan cermin kamar mandi yang buram, ia berdialog dengan bayangan sendiri—sebuah pertemuan paling jujur yang bisa ia lakukan.

“Untuk apa semua ini?” suara itu pecah, tersendat di tenggorokan. “Aku datang ke kota bukan untuk hidup seperti ini… bukan hanya bertahan. Aku ingin belajar, ingin berubah…”

Air mata menetes perlahan, membasahi pipi yang mulai teraba dingin oleh uap air kran. Air mata dan air yang mengalir di wajahnya menjadi satu, seperti simbol dari kejatuhan dan pembersihan sekaligus.

“Kenapa aku merasa seperti kecoa?” Abdi memejamkan mata, merasakan tubuhnya yang lemas, namun hatinya berteriak keras. “Berjalan di kegelapan, mencari ruang untuk bertahan, tapi tanpa tujuan jelas.”

Dalam keheningan kamar yang sempit itu, ia mulai menyadari bahwa perjuangan bukan sekadar melawan dunia luar. Ia harus menaklukkan keraguan yang berdentang paling keras dalam dirinya. Rasa gagal bukan hanya tentang pekerjaan yang jauh dari cita-cita, tapi juga pertarungan batin di antara harapan dan kenyataan getir.

Namun, di balik lelah yang menggerogoti, ia tahu ada bara kecil yang tetap hidup, menyala perlahan dari abu keputusasaan. Bara yang dulu diberi api oleh mimpi, kini harus dijaga dan dipupuk agar tetap menyala.

Titik Balik

Hujan deras malam itu mengguyur kota tanpa henti, membasahi jalanan sepi dan memburamkan cahaya lampu jalan. Di dalam kamar kontrakannya yang reyot, air menetes dari atap bocor, membasahi buku catatan tua yang tergeletak di atas meja. Buku yang dulu dipenuhi coretan mimpi dan ide kini terjerembap dalam hujan, tinta luntur dan halaman basah, mengaburkan jejak-jejak harapan yang pernah membara.

Abdi duduk terpaku, pandangannya kosong menatap catatan yang remuk oleh air itu. Suara hujan di atap seperti dendang pilu yang menggema dalam kesendiriannya. Suara itu menyayat hatinya, mengaduk rasa putus asa yang mulai merayap masuk.

“Tidak! Ini semua yang kupunya!” jeritnya pecah, menggema dalam kamar yang sempit, menghancurkan kesunyian malam. Suaranya bergetar, menumpahkan segala beban yang selama ini ia pendam. Tangisnya pecah tanpa mampu ia bendung lagi.

Tiba-tiba, teleponnya berdering. Lampu kecil layar menembus gelap. Dengan tangan gemetar, ia mengangkatnya. Dari ujung sana, suara lembut dan penuh kasih dari ibunya yang jauh terdengar.

“Abdi, nak. Bagaimana keadaanmu di sana?” suara ibunya seperti angin hangat yang menyentuh hati yang beku.

Abdi terisak, suara serak menahan amarah dan kepedihan yang membuncah. “Ibu… aku… aku gagal.”

Hening sejenak. Lalu ibunya berbicara dengan nada lembut namun mantap: “Anakku, kegagalan bukanlah akhir. Lihatlah ke langit malam ini, nak. Bintang-bintang itu tetap bersinar walau awan menutupi wajah mereka sesaat. Kau juga seperti itu. Mungkin awan menutup sementara, tapi sinarmu takkan padam.”

Kata-kata itu merasuk ke dalam relung hati Abdi, bagai cahaya yang menyusup dari celah kegelapan. Ia menutup telepon dengan tangan bergetar, merasakan sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya.

Esok paginya, setelah malam yang panjang dan penuh pertempuran batin, Abdi terbangun dengan tekad menyalakan kembali bara yang hampir padam. Ia membuka bungkus catatannya yang lain, baik-baik kali ini menjaga setiap goresan tinta agar tidak hilang dalam derasnya hidup.

Dengan pena sederhana, ia mulai menulis. Tulisan-tulisannya bukan tentang kehebatan akademis, tapi suara kecil yang mewakili kehidupan kampung, orang-orang yang berjuang dengan segala keterbatasan, dan kisah perjuangan kaum kecil di kota yang tak pernah punya panggung.

Tulisan itu ia kirimkan ke media kecil, lalu dibagikan di warung kopi dan ruang-ruang sederhana yang ia temui. Setiap kata menjadi jembatan, menghubungkan mimpinya dengan realita yang berkelindan. Rasa sepi mulai terganti oleh getar getar kehangatan yang baru.

Suatu sore yang cerah, sekelompok pemuda dari kampung datang ke kamar kecilnya, sambil membawa harapan dan mata yang bersinar.

“Kami baca tulisanmu, Abdi,” kata salah seorang pemuda dengan serius namun penuh kekaguman. “Kami ingin belajar darimu.”

Abdi tertegun, dadanya berdebar di tengah rasa rendah diri yang masih menghantui. “Aku bukan profesor, atau apa pun di antara mereka. Aku hanya… mencoba memahami.”

“Maka kami juga begitu,” sahut yang lain, “kita sama-sama belajar dari kegelapan untuk menemukan cahaya.”

Dalam momen itu, Abdi merasakan sebuah babak baru dalam hidupnya. Ia bukan lagi pecundang yang tersesat dalam kota besar, tapi seseorang yang berani menyalakan nyala kecil harapan bagi dirinya dan banyak orang lain.

Pertemuan itu menjadi awal kelompok diskusi kecil di sudut kota. Mereka membahas isu-isu sederhana: pendidikan, lingkungan, hak pekerja.

Setahun telah berlalu sejak malam hujan itu, sejak Abdi memungut kata-kata dan mimpi yang hampir terhapus oleh air. Kini ia berdiri kembali di kampungnya, bukan sebagai sosok pecundang yang patah, tapi sebagai seorang pria yang menemukan jalannya sendiri, meski jalannya itu tak gemilang seperti bayangan lama.

Di balai desa yang sunyi, dengan kursi-kursi kayu sederhana dan dinding yang berbalut cat pudar, Abdi menyampaikan kata-kata yang telah digembleng oleh waktu dan pengalaman: “Aku pergi ke kota dengan mimpi besar. Aku kembali dengan pelajaran kecil: bahwa perubahan tidak harus dimulai dengan teriakan keras, tapi dengan bisikan yang konsisten.”

Seorang tetua desa menaikkan alisnya, penuh penasaran. “Lalu apa yang akan kau lakukan untuk kampung ini, Abdi?”

Abdi menghela napas, matanya menyapu wajah-wajah yang ia kenal sejak kecil. “Aku akan mendengarkan. Aku akan menulis. Dan aku akan mengajak kalian semua untuk bersama-sama belajar.”

Malam itu, di teras rumah kayunya yang sederhana dan terpencil, Abdi menatap langit malam yang penuh bintang. Hembusan angin dingin menyapu rambutnya, membelai sisa-sisa lelah dalam tubuhnya. Ia bukan lagi pecundang yang menutup diri dalam apatisme dan putus asa. Ia telah menemukan perjuangan yang tenang, namun penuh makna.

Dalam hasratnya yang terdalam, ia menulis surat terakhir untuk Mira, sahabatnya yang jauh di kota: “Kita tidak perlu mengubah dunia. Cukup mengubah sudut kecil tempat kita berpijak. Itu sudah lebih dari cukup.”

Namun di balik keheningan itu, sebuah rahasia kecil merekah. Kampung yang Abdi tinggali sebenarnya sedang dalam ancaman, bukan hanya dari kemiskinan dan keterbatasan, tapi juga dari proyek pembangunan besar yang ingin meratakan tanah leluhur mereka untuk kepentingan industri.

Abdi yang dulu dianggap pecundang, kini berada di posisi strategis sebagai jurnalis muda yang kerap menulis tentang suara-suara tertindas. Surat-surat dan tulisan kecilnya yang dulu dianggap sepele mulai menggerakkan hati banyak orang, termasuk aktivis dan pemerintah lokal.

Perjuangan Abdi tidak lagi hanya soal dirinya, tapi menjadi perjuangan kolektif untuk mempertahankan kampungnya. Bahkan dari sudut kecil itu, ia memantik gelombang perubahan yang lebih besar.

Abdi bukan hanya menemukan jalannya sendiri, tapi secara tak terduga menjadi pemimpin perubahan yang disangka tak mungkin datang dari sosok “pecundang” kampung.

SendShare64Scan
Tim Redaksi

Tim Redaksi

Baca juga

Ilustrasi Etika, Kuasa, dan Tanggung Jawab/pixabay.com.

Etika, Kuasa, dan Tanggung Jawab: Tanggapan untuk Ketua DPRD Kabupaten Alor

by Tim Redaksi
08/07/2025
0
1.9k

Di tengah...

Mantan Kadis Kesehatan Kupang tersangka korupsi dana Kesehatan/Antaranews.

Kejaksaan: Mantan Kadis Kesehatan Kupang tersangka korupsi dana Kesehatan

by Juki
08/07/2025
0
1.9k

Pandurakyat.id- Kejaksaan...

Bendera bajak laut dari serial anime One Piece. (Foto: SCMP).

Fenomena dikibarkan bendera One Piece Jelang HUT RI ke-80, Begini Tanggapan Istana

by Tim Redaksi
08/06/2025
0
1.9k

Pandurakyat.id -...

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Lalipulhayat (kedua kanan) didampingi Gubernur NTT Melki Laka Lena (kedua kiri), Wakl Gubernur NTT Johni Asadoma (kanan) dan Kadis Pendidikan NTT Ambros Kodo saat memberikan keterangan kepada wartawan di Kupang, Rabu (6/8/2025).

Revitalisasi Sekolah di NTT Dapat Dukungan Dana Rp615 Miliar dari Kemendikdasmen

by Tim Redaksi
08/06/2025
0
1.9k

Kementerian Pendidikan...

  • Cerita Konflik Negeri Sawai dan Desa Masihulan di Kecamatan Seram Utara

    898 shares
    Share 359 Tweet 225
  • Kepala Desa Leubatang Desak Penindakan Tegas Terhadap Pelaku Penikaman

    250 shares
    Share 100 Tweet 63
  • Dugaan Penyelewengan Dana Desa Panama, FP2L Desak Pemeriksaan Transparan

    182 shares
    Share 73 Tweet 46
  • Miskin Itu Dosa? Stigma yang Membunuh Mimpi Generasi Muda

    177 shares
    Share 71 Tweet 44
  • Pelajar dan Mahasiswa Leubatang di Yogyakarta Gelar Open Donasi untuk Pembangunan MA Nurul Hadi

    176 shares
    Share 70 Tweet 44

Infografis

EDITORIAL edisi 30 Juli 2025
Pantau terus kami
Opini dari Ilham Nurdin
Facebook Twitter Instagram LinkedIn

Ikuti Kami

Kategori

Informasi

  • Kirim Tulisan
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Copyright: Pandurakyat (2024)

No Result
View All Result
  • Editorial
  • Pandu Aktual
    • Berita Daerah
    • Berita Nasional
  • Pandu Opini
  • Pandu Inspirasi
  • Pandu Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Pandu Literasi
    • Karya Seni dan Budaya
    • Film dan Dokumenter
    • Ulasan Buku
  • Pandu Teknologi

Copyright: Pandurakyat (2024)

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.