
Dalam dunia politik dan advokasi, kita sering kali disuguhkan dengan pertunjukan yang tampak intelektual, padahal di baliknya hanya permainan legitimasi. Itulah kesan yang sulit dihindari dari tulisan berjudul “Klarifikasi dan Opini: Mahasiswa NTT di Jogja Menentang Berita Hoax tentang Dukungan Proyek Geotermal” yang tayang di Kompasiana tanggal 17 Juni 2025. Alih-alih menjernihkan kebingungan publik, tulisan ini justru mempertegas bahwa ada sesuatu yang tidak beres sejak awal dan lebih jauh lagi, menunjukkan betapa mudahnya nama “mahasiswa NTT” dipakai tanpa mandat jelas.
Seminar yang digelar oleh Gerakan Aliansi Mahasiswa NTT Yogyakarta bertajuk “Energi Panas Bumi untuk NTT: Peluang dan Kendala” memang terdengar akademis. Namun jika ditelusuri lebih jauh, forum ini terasa seperti bungkus ilmiah dari skenario yang sudah disiapkan: menyisipkan dukungan diam-diam terhadap proyek panas bumi di Flores.
Dalam klarifikasi yang ditulis oleh salah satu peserta, kita disodorkan narasi bahwa ini hanyalah “forum akademik” dan “tidak ada pernyataan dukungan atau penolakan.” Tetapi mengapa seluruh pemberitaan media justru menyimpulkan bahwa mahasiswa NTT di Yogyakarta mendukung geotermal?
Apakah semua media ini berhalusinasi massal? Atau apakah memang panggung sudah disusun dengan rapi, dan para peserta (tanpa sadar) sedang menjadi figuran dalam narasi yang telah ditentukan sebelumnya?
Paling menyedihkan adalah munculnya nama “Aliansi Mahasiswa NTT Yogyakarta.” Sebuah nama besar, tapi tidak pernah jelas siapa yang mengangkat mereka. Apakah ada proses representatif? Apakah ada konsolidasi dari berbagai organisasi daerah NTT di Jogja? Atau ini hanya kumpulan kecil yang mengklaim mewakili satu provinsi tanpa mandat?
Ini bukan soal pribadi. Ini soal nama kolektif yang dijual ke publik seolah membawa suara ribuan mahasiswa diaspora dari Nusa Tenggara Timur. Mengutip sambutan pembuka seminar oleh Ketua Koordinator Aliansi, pertanyaannya sederhana: siapa yang mengangkat, mewakili, dan memberi mandat untuk membawa nama “Aliansi Mahasiswa NTT”?
Lucunya, klarifikasi itu tidak ditayangkan di media-media besar yang lebih dulu menyebarkan narasi dukungan mahasiswa terhadap geotermal. Sebaliknya, dipublikasikan di Kompasiana, sebuah platform blog warga yang tentu tidak memiliki daya counter wacana terhadap puluhan berita yang telah tayang di Liputan6, Tribun, Radar Flores, bahkan BeritaNTB.
Apa ini bukan bentuk strategi komunikasi yang penuh ironi? Mengklaim klarifikasi, tetapi memilih jalur yang tidak menjangkau opini publik yang sudah telanjur dibentuk. Ini bukan klarifikasi, ini pengalihan.
Apakah diskusi atau mobilisasi terselubung?
Pernyataan seperti “ini bukan ajang memaksakan dukungan” terdengar seperti pembelaan sebelum dituduh. Justru dari kalimat ini publik patut curiga: mengapa harus buru-buru membela sesuatu yang seharusnya tidak dituduh, kalau memang tidak terjadi?
Dan pernyataan penutup dari penyelenggara bahwa “ini bukan sekadar diskusi, ini seruan untuk bergerak,” makin memperjelas arah sebenarnya. Jika itu bukan mobilisasi dukungan, lalu apa arti “bergerak” yang dimaksud?
Kekhawatiran terbesar dari semua ini adalah ketika mahasiswa, yang seharusnya menjadi aktor perubahan sosial malah tanpa sadar sedang dijadikan alat legitimasi bagi proyek yang selama ini dikritik oleh banyak pihak: dari warga adat, aktivis lingkungan, hingga akademisi independen.
Alih-alih membuka ruang debat ilmiah yang sehat, kegiatan ini justru membungkam keberagaman pandangan dengan membungkusnya dalam forum satu arah. Dimana suara masyarakat terdampak? Dimana warga yang kehilangan tanah karena proyek eksplorasi? Dimana suara penolakan? Atau memang sejak awal mereka sengaja tidak diundang?
Jika ingin jujur dan objektif, penyelenggara seharusnya menyusun forum yang adil, terbuka, dan plural, bukan forum beraroma propaganda yang diselimuti jargon akademik. Klarifikasi tidak cukup jika tidak diikuti evaluasi cara kerja, transparansi representasi, dan pertanggungjawaban narasi.
Kita patut bertanya sekali lagi: Gerakan mahasiswa atau panggung pesanan?
Karena jika benar ini gerakan, maka ia lahir dari keresahan bersama, dari suara yang bertumbuh dari bawah, bukan dari panggilan telepon panitia atau poster yang tiba-tiba ramai dibagikan di WhatsApp grup tanpa proses konsolidasi. Jika ini benar gerakan mahasiswa NTT, maka seharusnya ada proses panjang: diskusi internal, kajian kritis, pelibatan semua organisasi kedaerahan, dan terutama dialog terbuka dengan warga Flores yang selama ini menjadi pihak paling terdampak atas eksplorasi geotermal.
Tapi yang terjadi? Forum yang katanya ilmiah dan edukatif itu justru seperti ruang gelap tempat “kesepakatan diam-diam” ditebar. Para peserta yang hadir mungkin sekadar ingin tahu atau belajar. Tapi sayangnya, dalam narasi media yang muncul, kehadiran mereka disulap menjadi dukungan kolektif. Inilah yang disebut dalam teori komunikasi sebagai simulakra (kenyataan yang dipalsukan melalui representasi media).
Ada maestro komunikasi di balik layar, entah itu dari korporasi energi, entah dari institusi kekuasaan. Mereka paham satu hal: suara mahasiswa, apalagi mahasiswa daerah, adalah komoditas simbolik yang berharga. Di tangan yang lihai, bahkan kehadiran diam bisa dimaknai sebagai persetujuan. Maka, disebarlah berita-berita yang “mengutip” suara mahasiswa yang bahkan tidak pernah mereka ucapkan.
Aliansi Mahasiswa NTT Yogyakarta (jika memang benar sebuah aliansi) harus berani menjawab satu pertanyaan: kalian mewakili siapa, dengan mandat dari mana, dan untuk tujuan apa? Jika hanya mewakili sekelompok kecil yang merasa paling berhak bersuara atas nama ribuan mahasiswa NTT di Yogyakarta, maka yang kalian lakukan bukan advokasi, tapi manipulasi representasi.
Dan lebih jauh dari itu: jika forum ini dibungkus dalam niat baik “mengedukasi publik”, mengapa tidak ada ruang untuk suara penolakan? Mengapa tak satu pun narasumber berasal dari masyarakat adat yang sudah lama menolak eksploitasi geotermal karena menghancurkan ruang hidup mereka? Mengapa diskusi yang katanya “berimbang” itu hanya diisi oleh akademisi, perwakilan PLN, dan moderator dari kalangan panitia sendiri?
Satu hal yang harus diingat oleh siapa pun yang sedang bermain di balik layar: mahasiswa bukan alat. Nama mahasiswa terlalu mulia untuk dijadikan perisai proyek yang belum jelas keuntungannya bagi rakyat. Di tengah krisis representasi dan menjamurnya politik pencitraan, suara mahasiswa seharusnya menjadi oase kritis bukan alat kamuflase bagi kekuatan yang bekerja di balik meja.
Sudah waktunya kita menyadari bahwa forum seperti ini, yang diklaim sebagai ruang akademik, harus dicurigai jika:
- Tidak ada pelibatan masyarakat terdampak.
- Tidak ada transparansi tentang siapa penyelenggaranya dan agenda di baliknya.
- Tidak ada follow-up nyata selain “viral” di media yang semuanya condong menyuarakan satu arah.
Kritik bukan berarti anti pembangunan. Tetapi membangun tanpa keberpihakan pada masyarakat adalah bentuk kolonialisme gaya baru. Kita tak bisa bicara energi terbarukan, jika cara memperolehnya adalah dengan mengorbankan rakyat yang belum diberi ruang bicara.
Dan kepada semua mahasiswa NTT, baik yang hadir maupun yang tidak: inilah waktunya mengevaluasi gerakan kita sendiri. Jangan diam ketika nama kita dipakai seenaknya. Jangan lunak ketika representasi kita dimanipulasi. Dan jangan takut untuk menuntut transparansi, bahkan dari mereka yang mengaku “mewakili” kita. Karena suara mahasiswa bukan hanya untuk menyuarakan perubahan tetapi juga untuk menolak menjadi pion dalam panggung pesanan.