
Saya bukan ahli lingkungan, bukan pula bagian dari komunitas aktivis lingkungan hidup. Tapi sebagai seseorang yang membaca, mengamati, dan berpikir secara kritis, saya merasa perlu berbicara. Ketika sebuah kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Mahasiswa NTT di Yogyakarta dengan lantang mendukung proyek geotermal di Flores (NTT), saya melihat ada yang keliru, bahkan mencoreng hakikat keberadaan mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu, saya tidak sedang menyerang secara personal, tapi mencoba mengkaji dari sisi akademis agar yang bersikap dengan arogansi intelektual paham apa sebenarnya yang sedang didukung.
Ketika Legitimasi Dibangun di Atas Kevakuman Data
Dalam deklarasinya pada seminar 15 Juni 2025, aliansi mahasiswa tersebut mengklaim bahwa proyek panas bumi adalah bagian dari solusi atas krisis energi, serta bentuk kontribusi bagi pembangunan daerah. Namun dukungan tersebut dilontarkan tanpa menyentuh realitas sosial dan ekologis yang telah berlangsung bertahun-tahun di Ulumbu, Mataloko, maupun Wae Sano. Apakah mereka pernah ke sana? Apakah mereka menyimak langsung suara warga yang mengalami pencemaran udara, kehilangan sumber air, atau bahkan diintimidasi hanya karena menyuarakan penolakan?
Data empiris menunjukkan realitas yang sangat berbeda dengan narasi “energi hijau” yang mereka usung. Di Mataloko, warga melaporkan masalah kesehatan, kerusakan rumah, dan hilangnya produktivitas pertanian, terutama untuk kopi, cengkeh, alpukat, dan sayuran. Ini bukan sekadar keluhan subjektif, tetapi dampak terukur yang telah menghancurkan mata pencaharian masyarakat lokal.
Lebih tragis lagi, proyek geotermal di Mataloko mengalami kegagalan dan berdampak negatif. Terjadi kebocoran. Lumpur meluap dan merusak lahan penduduk. Fakta ini menunjukkan bahwa teknologi yang diagung-agungkan sebagai “ramah lingkungan” ternyata meninggalkan jejak kerusakan nyata. Bagaimana mungkin sebuah aliansi mahasiswa mendukung ekspansi teknologi yang telah terbukti gagal dan merusak?
Mengatasnamakan masyarakat NTT tanpa riset, tanpa dialog, dan tanpa pijakan empiris adalah bentuk kebohongan akademik dan pengkhianatan moral. Dalam ilmu sosial, ini disebut sebagai false representation, ketika identitas kolektif dipakai untuk melegitimasi kepentingan politik pribadi atau kelompok kecil. Pierre Bourdieu dalam konsep “kekerasan simbolik” menjelaskan bagaimana kelompok dominan menggunakan legitimasi akademik untuk memaksakan pandangan mereka kepada kelompok yang marginal. Inilah yang sedang terjadi di Flores (NTT), mahasiswa yang seharusnya menjadi suara kritis justru menjadi corong yang melegitimasi proyek ekstraktif atas nama “kemajuan.”
Geotermal Bukan Sekadar “Energi Hijau”
Benar bahwa geotermal adalah sumber energi terbarukan yang rendah emisi. Tapi rendah emisi tidak berarti tanpa risiko. Fakta menunjukkan, di Flores, proyek-proyek ini telah meninggalkan jejak konflik sosial, fragmentasi komunitas adat, bahkan kerusakan lingkungan yang tak dipulihkan. Menutup mata terhadap semua ini atas nama “kedaulatan energi” hanyalah reproduksi retorika korporasi semata.
Studi komprehensif yang dilakukan World Bank mengungkapkan bahwa jalan akses proyek merupakan penyebab utama risiko dan dampak sosial serta lingkungan yang terkait dengan pengembangan tenaga panas bumi di kawasan hutan. Ini menunjukkan bahwa dampak geotermal tidak terbatas pada operasional pembangkit, tetapi mulai dari fase konstruksi yang merusak ekosistem hutan.
Lebih lanjut, meskipun energi panas bumi itu sendiri mungkin tidak berbahaya bagi lingkungan, membangun pembangkit memerlukan infrastruktur seperti jalan, yang dapat memiliki konsekuensi lingkungan dan sosial bagi satwa liar yang terancam punah, pasokan air tawar, serta nilai-nilai budaya dan agama. Pernyataan ini menggarisbawahi kompleksitas dampak yang sering diabaikan dalam narasi sederhana “energi bersih.”
Energi hijau bisa menjadi wajah baru dari ekstraktivisme, jika dijalankan tanpa keadilan ekologis dan partisipasi sejati warga. Konsep “green grabbing” yang dikembangkan oleh James Fairhead menjelaskan bagaimana proyek-proyek lingkungan dapat menjadi alat baru untuk merampas tanah dan sumber daya komunitas lokal. Di Flores NTT kita menyaksikan fenomena ini secara langsung, mereka menyoroti ancaman yang ditimbulkan oleh proyek tersebut, termasuk deforestasi, penipisan air, dan pemindahan komunitas adat. Mereka juga mengutuk kehadiran personel yang punya kekuasan digunakan untuk mengintimidasi mereka yang menentang proyek tersebut.
Mendukung proyek ini tanpa mempertimbangkan konteks lokal dan resistensi masyarakat sama saja dengan menyetujui bentuk baru dari kolonialisme modern. Inilah yang disebut Arturo Escobar sebagai “kolonialitas alam”, di mana pengetahuan tekno-saintifik Barat digunakan untuk melegitimasi ekstraksi sumber daya di Global South dengan dalih modernisasi dan pembangunan.
Mahasiswa Jangan Jadi Alat Kekuasaan
Mahasiswa adalah mereka yang seharusnya berdiri bersama yang tertindas. Bukan justru menjadi alat dari narasi pembangunan yang diproduksi dari ruang-ruang kekuasaan. Sikap Aliansi Mahasiswa NTT di Yogyakarta dalam kasus ini bukanlah cerminan aktivisme yang kritis dan berani, melainkan bentuk ketergesa-gesaan dalam pencarian legitimasi politik.
Antonio Gramsci dalam konsep hegemoni menjelaskan bagaimana kelas penguasa mempertahankan dominasinya tidak hanya melalui kekerasan, tetapi juga melalui persetujuan yang diproduksi oleh intelektual organik. Dalam konteks Flores, mahasiswa yang mendukung proyek geotermal tanpa kajian kritis justru berperan sebagai intelektual organik yang melegitimasi kepentingan korporasi.
Tanpa riset lapangan, tanpa konsultasi yang bermartabat dengan masyarakat terdampak, dan tanpa refleksi etis terhadap dampak jangka panjang, dukungan terhadap proyek geotermal menjadi bukan sikap ilmiah, melainkan arogansi aktivisme yang dangkal. Paulo Freire dalam “Pedagogi Kaum Tertindas” menekankan pentingnya praxis, penyatuan refleksi dan aksi yang kritis. Mahasiswa yang mendukung proyek geotermal tanpa praxis ini justru melakukan apa yang Freire sebut sebagai “aksi tanpa refleksi” yang tidak lebih dari aktivisme buta.
Data menunjukkan bahwa penolakan masyarakat terjadi di berbagai daerah di mana eksploitasi panas bumi terjadi di kawasan hutan konservasi. Fenomena ini bukan kebetulan, tetapi respons rasional terhadap ancaman nyata terhadap kehidupan mereka. Mengabaikan suara-suara ini atas nama “kemajuan” adalah bentuk epistemisida pembunuhan terhadap sistem pengetahuan lokal yang telah memelihara ekosistem selama berabad-abad.
Dalam konteks Indonesia, kita perlu belajar dari kasus serupa di daerah lain. Pulau Flores memiliki banyak potensi panas bumi, sehingga sering disebut pulau panas bumi. Namun, banyak penolakan. Pola penolakan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat lokal memiliki pengetahuan ekologis tradisional yang memungkinkan mereka memahami risiko jangka panjang yang mungkin tidak terlihat dalam perhitungan tekno-ekonomi jangka pendek.
Suara dari Lapangan
Realitas di lapangan jauh lebih kompleks dari narasi sederhana yang diusung Aliansi Mahasiswa NTT. Kondisi topografi Poco Leok yang curam menggandakan risiko tanah longsor. Ini menunjukkan bahwa setiap lokasi memiliki keunikan geologis dan sosial yang memerlukan kajian mendalam, bukan pendekatan one-size-fits-all.
Lebih jauh, kegagalan proyek sebelumnya di Mataloko seharusnya menjadi pelajaran penting. Namun alih-alih belajar dari kegagalan, ada upaya untuk mengulang kesalahan yang sama di lokasi lain. Ini mencerminkan apa yang disebut Albert Einstein sebagai “insanity” melakukan hal yang sama berulang-ulang sambil mengharapkan hasil yang berbeda.
Para aktivis lingkungan seperti Vandana Shiva telah lama memperingatkan bahaya “monokultur pikiran” dalam pendekatan pembangunan. Proyek geotermal di Flores adalah contoh nyata bagaimana monokultur pikiran ini mengabaikan kearifan lokal dan keragaman ekologis demi mencapai target-target kuantitatif yang abstrak.
Akhir Kata: Buka Mata, Buka Buku, dan Buka Hati
Kritik ini tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan siapa pun. Tapi ini adalah panggilan agar mahasiswa termasuk yang tergabung dalam aliansi manapun, kembali pada ruh intelektualitas yang otentik: membaca sebelum bicara, mendengar sebelum bersuara, dan riset sebelum bertindak.
Flores bukan sekadar titik panas bumi. Ia adalah ruang hidup, tanah adat, dan warisan ekologis yang tak bisa dihitung dengan angka-angka pertumbuhan semu. Rob Nixon dalam “Slow Violence” mengingatkan kita bahwa kerusakan lingkungan sering kali tidak dramatis dan tidak terlihat, tetapi berdampak jangka panjang yang menghancurkan. Inilah yang sedang terjadi di Flores, sebuah proses slow violence yang dilegitimasi oleh narasi pembangunan berkelanjutan.
Maka sebelum kalian bicara atas nama rakyat, belajarlah terlebih dahulu tentang rakyat itu sendiri. Ini bukan sekadar slogan, tetapi imperatif etis bagi setiap intelektual yang mengklaim berbicara untuk kepentingan publik.
Penutup
Pulau Flores bukan hanya titik panas bumi, tetapi juga rumah dari sejarah, adat, dan identitas kolektif masyarakatnya. Mengintervensi tanah ini tanpa memahami konteksnya adalah bentuk arogansi modernisme yang telah terbukti gagal di banyak tempat.
Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi geotermal hingga 28,61 GW, namun baru mengembangkan 7,6% dari potensi tersebut. Namun angka-angka ini tidak boleh dijadikan justifikasi untuk mengabaikan dampak sosial-ekologis. Sebaliknya, rendahnya tingkat pengembangan ini seharusnya mendorong kita untuk mengembangkan pendekatan yang lebih participatory dan just transition.
Maka, mahasiswa yang mengatasnamakan NTT semestinya bertanya kembali pada nurani intelektual mereka, apakah suara yang mereka serukan benar-benar dari rakyat, atau hanya gema dari ruang hampa kepentingan? Jawaban atas pertantaan ini akan menentukan apakah mereka layak disebut sebagai intelektual organik rakyat, atau sekadar teknokrat yang menyamarkan kepentingan elite dengan retorika akademis.
Kita memerlukan pendekatan ekologi politik yang menempatkan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis sebagai prioritas utama, bukan sekadar target-target kuantitatif yang abstrak. Ini memerlukan dialog yang tulus dengan masyarakat adat, pengakuan terhadap knowledge systems lokal, dan komitmen terhadap free, prior, and informed consent dalam setiap tahap pengembangan proyek. Hanya dengan cara inilah energi terbarukan dapat menjadi bagian dari solusi yang emansipatoris, bukan sekadar reproduksi ekstraktivisme dengan wajah hijau.
Penulis_Rahmad Boli Raya (Mahasiswa Magister BK UAD Yogyakarta Asal NTT)