Di tengah kemeriahan Piala Soeratin U-15 di Yogyakarta, tim Persebata Lembata dari Nusa Tenggara Timur (NTT) membawa kisah yang memilukan. Mereka bukan hanya bertarung melawan tim lawan di lapangan, tetapi juga berjuang menghadapi ketidakpedulian dari pengurus Asprov PSSI NTT dan Pemerintah Provinsi.
Meskipun sepak bola sering disebut sebagai kebanggaan bangsa, tim ini justru harus mencari dana dari donatur lokal seperti Kaya Tene Grup dan individu peduli, karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah atau Asprov PSSI NTT.
Sumber dana untuk perjalanan tim ke Yogyakarta lebih banyak bersumber dari swadaya masyarakat, sementara anggaran tahunan Rp 500 juta yang dialokasikan oleh PSSI pusat untuk setiap Asprov, termasuk NTT, tampaknya tidak cukup dimanfaatkan dengan baik. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana perginya dana tersebut?
Di lapangan, meskipun Persebata Lembata kalah dalam beberapa pertandingan—2-1 melawan Riau, 6-1 melawan DKI Jakarta, dan 2-2 melawan Sulawesi Barat—semangat mereka patut diacungi jempol.
Mereka bermain dengan penuh perjuangan meskipun tidak mendapat dukungan yang layak. Ironisnya, Piala Soeratin, yang seharusnya menjadi ajang pencarian bakat dan kebanggaan daerah, justru memperlihatkan bagaimana buruknya pengelolaan sepak bola di tingkat provinsi.
Dukungan nyata dari pihak swasta, seperti Kaya Tene Grup, menunjukkan betapa pentingnya kepedulian terhadap masa depan sepak bola, sementara Asprov dan pemerintah hanya terlihat diam.
Sudah saatnya bagi pihak berwenang untuk melakukan audit anggaran dan memastikan bahwa dana yang disediakan benar-benar digunakan untuk mendukung pengembangan sepak bola, bukan hanya untuk kepentingan pribadi. Jika tidak, sejarah akan mencatat kegagalan ini sebagai pengkhianatan terhadap generasi muda dan masa depan olahraga di NTT.