Di tengah gemuruh aspirasi warga Alor, sebuah komentar yang seharusnya menjadi jembatan menuju solusi malah dijadikan bahan bakar bagi ancaman hukum yang dilemparkan oleh Ketua DPRD. Bila demokrasi kita dijadikan arena intimidasi, maka kepercayaan publik akan retak, dan suara rakyat yang dulu bergema kini terdiam.
Persisi di situ, tulisan ini saya sampaikan dalam kapasitas saya sebagai warga negara sekaligus putra daerah Alor. Tujuan saya bukan untuk menjatuhkan pihak manapun, melainkan mendorong terciptanya ruang demokrasi yang sehat dan bermartabat di Kabupaten Alor.
Dengan penuh hormat saya sampaikan bahwa dalam sebuah negara demokratis, kritik dan diskursus publik merupakan fondasi penting dalam menjaga ruang partisipasi warga. Sebagai warga yang mencintai demokrasi, saya selalu menyambut baik ruang terbuka bagi setiap suara rakyat untuk didengar.
Namun, tindakan Bapak yang memublikasikan ulang komentar warga di media sosial sekaligus menyatakan akan membawa persoalan tersebut ke ranah hukum menimbulkan keprihatinan mendalam.
Kritik konstruktif adalah jantung dari proses demokratis; ia seharusnya diproses secara transparan dan didasarkan pada dialog, bukan ancaman hukum yang dapat menakutkan partisipan publik.
Saya merasa perlu menanggapi sikap Ketua DPRD Kabupaten Alor yang mempublikasikan ulang salah satu komentar warganya di media sosial—dengan narasi akan membawa persoalan tersebut ke ranah hukum.
Secara pribadi, saya tidak membela substansi komentar tersebut. Namun, cara penyikapan seorang pejabat publik terhadap suara warga semestinya tetap dalam koridor etika kepemimpinan, edukatif, dan membangun ruang dialog, bukan justru menjadi alat tekanan balik atau pembungkaman opini.
Hal ini sejalan dengan teori etika publik dan Hukum Administrasi Negara (HAN), yang menyatakan bahwa seorang pejabat publik tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari status jabatannya ketika melakukan tindakan di ruang publik.
Bahkan, Mahkamah Konstitusi RI dalam berbagai pertimbangannya juga telah menegaskan bahwa tokoh publik harus lebih terbuka terhadap kritik dan memiliki tanggung jawab yang lebih tinggi atas ekspresi dan tindakannya di hadapan masyarakat.
Oleh karena itu, sekalipun Beliau berdalih bertindak sebagai individu yang menggunakan hak hukumnya, menurut perspektif etika pejabat publik, saya menilai bahwa tindakan Beliau kurang tepat secara etis.
Pertama, Beliau menggunakan akun Facebook pribadi yang secara luas dikenal oleh publik sebagai akun resmi Ketua DPRD Kab. Alor untuk memublikasikan ulang komentar warga. Kedua, Beliau memilih untuk membawa persoalan tersebut ke ruang publik, bukan menyelesaikannya secara pribadi melalui jalur dialog.
Perlu diingat bahwa seorang Ketua DPRD bukan hanya figur politik, tapi juga simbol pengayom rakyat. Ketika seorang warga mengutarakan pendapat—meskipun tidak disukai atau tidak elok bahasanya—jawaban yang paling bermartabat dari seorang pejabat adalah klarifikasi yang bijak, bukan ekspos publik yang berpotensi mempermalukan.
Di era media sosial ini, postingan seorang pejabat memiliki daya pengaruh politik dan sosial yang besar. Ketika sebuah komentar disorot oleh seorang tokoh publik, ada risiko penciptaan stigma sosial, pembunuhan karakter, bahkan tekanan massa terhadap individu yang bersangkutan, meskipun belum ada proses hukum yang berjalan.
Saya mengajak Ketua DPRD Kab. Alor untuk lebih bijaksana, tidak memanfaatkan posisi jabatan untuk membentuk opini publik terhadap warga secara sepihak. Demokrasi bukan hanya soal hak pejabat bicara, tapi juga soal keberanian pejabat mendengar.
Jika memang terdapat dugaan pelanggaran, sebaiknya diselesaikan melalui prosedur hukum tanpa framing media sosial.
Mari jaga Alor sebagai ruang yang aman bagi kritik, edukatif bagi generasi muda, dan adil bagi semua suara rakyat—termasuk yang paling kecil dan paling berbeda.
Sanji Hasan adalah putra daerah Alor, dan pendiri Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Timur (PERMAINTI). Ia dikenal sebagai pemuda yang aktif mendorong demokrasi partisipatif dan ruang publik yang etis, khususnya di kawasan Indonesia Timur. Melalui PERMAINTI, ia memfasilitasi kolaborasi, advokasi, dan ekspresi budaya bagi mahasiswa Indonesia Timur di Daerah Istimewa Yogyakarta.