
Pada 15 Maret 2025, sesi Bincang Budaya menjadi salah satu titik puncak dalam rangkaian Expo Budaya Edang yang digelar oleh Kuamakeyo di Taman Budaya Yogyakarta. Dalam suasana yang hangat dan reflektif menjelang waktu berbuka puasa, diskusi ini mempertemukan tokoh-tokoh lintas profesi yang hadir tidak hanya sebagai pembicara, tetapi juga sebagai sahabat budaya yang menyampaikan apresiasi, pemikiran, dan semangat kebersamaan lintas generasi.
Padmono Anggoro, perwakilan dari Dinas Kebudayaan DIY, membuka percakapan dengan menyoroti pentingnya “ekosistem budaya” yang dibangun oleh komunitas akar rumput seperti Kuamakeyo. Ia memuji semangat para mahasiswa Kedang dalam menjadikan budaya sebagai gerakan hidup, bukan hanya seremoni seremonial. “Pelestarian budaya yang digerakkan anak muda seperti ini adalah contoh nyata bahwa tradisi tidak mati, ia hanya mencari medium baru untuk bicara,” ungkapnya.
Sementara itu, Kombes Pol Wachyu Tri Budi Sulistiyono dari Polda DIY memberikan perspektif dari sisi keamanan dan sosial kemasyarakatan. Ia menekankan bahwa budaya yang hidup dan kuat justru menjadi benteng pertama dalam mencegah konflik dan menjaga harmoni sosial. “Budaya bukan sekadar tari atau lagu, ia adalah perangkat lunak peradaban yang menyatukan kita. Dan kegiatan seperti ini adalah bagian dari upaya menjaga kedamaian dalam keberagaman,” jelasnya.
Giliran Dr. Al-Gazali Hide Wulakada, praktisi hukum sekaligus akademisi, membawa diskusi ke arah yang lebih filosofis. Dalam penyampaiannya, ia mengangkat kisah Nabi Ibrahim sebagai simbol transisi dari mitos ke logos—dari keyakinan yang diturunkan begitu saja, menuju kesadaran kritis dan pencarian makna secara rasional. “Ibrahim menghancurkan berhala bukan hanya sebagai tindakan teologis, tetapi sebagai penanda kebangkitan akal. Begitu juga kita hari ini: menjaga budaya bukan berarti memujanya tanpa nalar, tapi menghidupkannya dengan kesadaran baru,” tegasnya.
Tak kalah penting, Al-Afghani, pengurus IKPMDI dan mahasiswa Kedang, berbicara dari sudut pandang generasi muda di perantauan. Ia menekankan bahwa kegiatan ini bukan sekadar nostalgia budaya, tetapi bentuk konsistensi dalam membangun jati diri. “Kami hadir bukan hanya untuk tampil, tapi untuk menyampaikan bahwa mahasiswa daerah juga punya nilai, punya cerita, dan punya peran,” katanya dengan semangat.
Meskipun waktu diskusi berpapasan dengan azan Maghrib, para pembicara tetap antusias menyampaikan pemikirannya dan mohon maaf karena tidak bisa berbagi lebih panjang. Namun, momen singkat ini justru menjadi pengingat bahwa pelestarian budaya adalah kerja lintas waktu, lintas profesi, dan lintas generasi. Dari birokrat, aparat keamanan, akademisi, hingga mahasiswa—semua bertemu di satu titik: menjaga nyala budaya agar terus menyala dalam jiwa-jiwa muda.