Film Women from Rote Island membawa kita menyelami kisah pilu dan perjuangan perempuan di Nusa Tenggara Timur yang menghadapi kekerasan seksual dan diskriminasi budaya. Dengan pendekatan sinematik yang kuat, film ini menampilkan realitas pahit tentang kerentanan perempuan di daerah tersebut yang sering kali terpinggirkan, tanpa perlindungan yang memadai dari masyarakat maupun sistem hukum.
Melalui sosok Orpa dan anaknya Martha, film ini menegaskan bahwa keberdayaan perempuan adalah kunci dalam melawan kekerasan sistemik dan menuntut keadilan meski di tengah tradisi yang membelenggu.
Kisah dan Pesan Kuat Film
Film ini bercerita tentang Orpa, seorang ibu yang kehilangan suaminya dan harus berjuang menghadapi diskriminasi sosial serta tradisi yang membatasi, sementara anaknya, Martha, pulang dengan luka trauma kekerasan seksual saat menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Alih-alih mendapatkan perlindungan, mereka justru menghadapi stigma dan perlakuan tidak adil dari masyarakat kampungnya sendiri. Ini menggambarkan betapa sulitnya posisi perempuan korban kekerasan yang tidak hanya berperang melawan pelaku, tetapi juga melawan norma sosial yang menyingkirkan mereka.
Representasi Emosi dan Budaya Lokal
Film Women from Rote Island menghadirkan dialog berbahasa lokal Rote yang sangat alami dan kental dengan nuansa adat istiadat setempat, sehingga berhasil menciptakan sebuah pengalaman autentik yang menyentuh jiwa penonton.
Penggunaan bahasa ini bukan sekadar elemen estetika, melainkan juga sarana penting yang menghubungkan penonton langsung dengan roh dan nilai-nilai budaya masyarakat Pulau Rote.
Selain itu, pemandangan alam Pulau Rote yang indah dan memikat turut mengiringi narasi film dengan kontras emosional yang kuat, memperkuat rasa kedalaman kisah yang dibawakan.
Teknik sinematografi yang digunakan, terutama teknik one shot long take, memberikan kekuatan visual yang luar biasa dalam menyampaikan luka batin para perempuan korban kekerasan.
Dengan pengambilan gambar yang panjang tanpa potongan, penonton diajak untuk merasakan setiap momen dan ketegangan emosional secara utuh dan intens, tanpa jeda yang memecah konsentrasi. Ini membuat kisah traumatis yang dialami seperti Orpa dan Martha menjadi jauh lebih nyata dan menyentuh, memperlihatkan kepedihan dan ketahanan mereka secara mendalam.
Salah satu dialog paling tajam dan berkesan adalah kalimat “Semua orang lahir dari kelamin yang berdarah.” Kalimat ini mengandung ironi mendalam sebagai refleksi dari seorang ibu yang mengalami penderitaan luar biasa karena kekerasan seksual, sebuah luka yang harus diterima dan ditanggung dalam konteks sosial dan budaya yang membelenggu.
Ungkapan tersebut tidak hanya menggarisbawahi kenyataan biologis manusia, tetapi juga menjadi simbol keteguhan dan keberanian seorang perempuan yang tetap berdiri sebagai sosok pelindung dan penjaga keluarga di tengah berbagai tekanan dan stigma yang mengelilinginya.
Dengan pendekatan bahasa dan sinematografi yang begitu padu, film ini tidak hanya bercerita tentang kekerasan dan penderitaan, melainkan juga menunjukkan semangat hidup dan rasa kemanusiaan yang mendalam.
Setiap dialog dan frame berfungsi sebagai jembatan emosional yang mengantar penonton untuk lebih memahami dan merasakan realitas yang selama ini tersembunyi di balik adat dan tradisi, sekaligus mengajak untuk refleksi dan empati lebih dalam terhadap mereka yang menjadi korban kekerasan di daerah terpencil seperti Pulau Rote.
Kritik terhadap Sistem Sosial dan Hukum


Film Women from Rote Island menggarisbawahi bagaimana sistem hukum yang lemah, budaya patriarki yang kuat, dan stigma sosial yang mendalam menjadi penghalang utama bagi perempuan di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk memperoleh keadilan di tengah kekerasan seksual yang sangat rentan dialami.
Kerentanan perempuan di NTT tidak hanya berasal dari tindakan kekerasan itu sendiri, tetapi juga dari sistem sosial dan budaya yang membungkam suara mereka dan menyulitkan proses pemulihan serta pengakuan hukum.
Film ini menggambarkan perjuangan ganda perempuan untuk menghadapi trauma pribadi sekaligus melawan sistem yang tidak berpihak- sebuah realitas yang menimbulkan dampak luas baik secara psikologis maupun sosial.
Di NTT, akses terhadap keadilan seringkali terhambat oleh keterbatasan sistem hukum yang belum sepenuhnya responsif terhadap masalah kekerasan berbasis gender. Kompleksitas proses hukum yang panjang dan sulit, ditambah dengan kurangnya pemahaman maupun dukungan dari aparat terkait, membuat perempuan korban sering kali menyerah atau terpaksa menanggung penderitaan tanpa keadilan.
Budaya patriarki di NTT sangat kental, di mana norma-norma adat dan tradisi sering kali menempatkan perempuan dalam posisi tersubordinasi. Sistim ini menguatkan stigma dan isolasi sosial terhadap perempuan korban kekerasan, menganggap mereka sebagai “pembawa aib” keluarga dan masyarakat. Dalam konteks ini, perempuan tidak hanya berjuang terhadap pelaku kekerasan, tetapi juga terhadap struktur sosial yang memang menghendaki mereka untuk diam.
Stigma sosial menjadi salah satu penghalang terbesar bagi perempuan korban agar mereka bisa terbuka dan melapor. Ketakutan akan pengucilan, penilaian negatif dari lingkungan, dan rasa malu yang terus-menerus menghantui membuat perempuan sulit mencari dukungan maupun pemulihan. Stigma ini juga memperburuk trauma psikologis dan memperpanjang penderitaan mereka.
NTT sebagai daerah tertinggal dengan akses pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial yang jauh lebih terbatas dibandingkan daerah lain, menambah dimensi kerentanan bagi perempuan di wilayah tersebut. Rendahnya tingkat pemberdayaan perempuan dan ketergantungan ekonomi juga menjadi faktor yang membuat perempuan lebih rentan terhadap kekerasan dan kesulitan keluar dari situasi buruk.
Film Women from Rote Island hadir dengan mengangkat suara yang selama ini tersenyum dan membisu di wilayah tersebut, membuka mata publik akan realitas pahit dan menuntut kepedulian serta tindakan nyata demi perlindungan dan keadilan perempuan korban kekerasan seksual di NTT.
Meski sarat dengan pesan berat, film juga memperlihatkan keindahan budaya Rote dan lanskap alamnya yang memukau, menegaskan bahwa perempuan dan budaya lokal adalah bagian tak terpisahkan dari kekayaan Indonesia. Keindahan ini kontras dengan kekerasan yang terjadi, menambah dimensi emosional yang membuat penonton merenungi kondisi nyata di NTT.
Berikut adalah informasi pemeran utama film Women from Rote Island beserta perannya sebagaimana dikutip dari laman IMDb:
Merlinda Dessy Adoe sebagai Orpa, Irma Novita Rihi sebagai Martha, dan Bani Sallum Ratu Ke sebagai Bertha, juga Van Jhoov sebagai Damar, serat ada Maria DonaInes, Leonard Leo Leba, Putri DianaSoarezMoruk, YuliusOktavianus, dan Chelsi Tasi.
Film ini bergenre drama dan thriller tahun 2023, tetapi tayang di bioskop tahun 2024. Disutradarai oleh Jeremias Nyangoen dan menerima pengakuan tinggi dalam berbagai ajang penghargaan di Indonesia.
Nasruddin merupakan editor Pandurakyat