Pandurakyat.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah menjadi contoh nyata dari niat baik yang terperosok dalam “kasak‑kusuk” kebijakan: peluncuran yang terlalu cepat, tanpa peta kelembagaan yang terintegrasi, tanpa pedoman teknis nasional, dan tanpa payung Perpres yang mengikat semua pihak, sehingga menimbulkan serangkaian kegagalan lapangan yang mengancam kesehatan anak‑anak Indonesia.
Sejak diluncurkan pada 6 Januari 2025, MBG seharusnya menjadi jaring pengaman gizi yang menutup celah stunting dan meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, kenyataannya program ini berhamburan tanpa koordinasi yang memadai.
Di satu sisi, target ambisius 82,9 juta penerima dalam lima tahun didorong tanpa memastikan kesiapan infrastruktur dapur; di sisi lain, tidak ada pemetaan kelembagaan menyeluruh yang menyatukan Kementerian Pendidikan, Kesehatan, Badan Gizi Nasional (BGN), serta koperasi‑koperasi lokal.
Tanpa Perpres yang mengikat, masing‑masing daerah menyiapkan SOP sendiri‑sendiri, menghasilkan standar mutu makanan yang sangat bervariasi, dari dapur yang bersih dan terstandarisasi hingga yang masih mengandalkan bahan basi atau proses penyimpanan yang buruk.
Kegagalan ini bukan sekadar statistik; ia berwujud dalam kasus keracunan massal yang terus menumpuk. BBC Indonesia melaporkan setidaknya 1 376 anak sekolah di beberapa provinsi yang diduga mengalami keracunan MBG, dengan kontaminan seperti Salmonella, E. coli, Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus.
Seorang ibu di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatra Selatan, mengungkapkan keprihatinannya, “Saya pikir kalau dapat makan gratis bisa meringankan beban, tapi ini bukannya meringankan malah mau membunuh.”
Di Jawa Tengah, pada 24 April 2025, SDN 4 Wonorejo melaporkan gejala mual, diare, dan muntah pada semua siswa setelah mengonsumsi nasi, ayam, tahu, kecambah, kuah soto, dan susu yang disajikan dalam rangka MBG. Guru dan orang tua mencatat rasa “aneh” pada daging ayam dan kuah soto yang “asam”.
Sementara itu, 140 siswa SMPN 8 Kupang, Nusa Tenggara Timur, mengalami mual, diare, dan pusing setelah makan MBG, menambah daftar panjang korban di wilayah timur. Di Jawa Barat, SDN Banaran melaporkan tujuh siswa dengan muntah dan diare hebat setelah menyantap makanan MBG pada akhir April 2025.
Kejadian ini tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik, tetapi juga menggerogoti kepercayaan publik. Ketua BEM UI, Iqbal Cheisa Wiguna, menuding program “tidak tepat sasaran” dan menekankan bahwa kasus keracunan mengikis kredibilitas pemerintah.
Respons institusional pun terlihat lambat dan terfragmentasi. BGN mengeluarkan siaran pers setelah kasus di Bogor, dengan tindakan cepat: pengujian laboratorium sampel makanan, peringatan keras kepada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), serta komitmen menanggung biaya medis korban Kasus Keracunan MBG di Bogor.
Selanjutnya, pada 24 Juni 2025 BGN berkolaborasi dengan BPOM untuk meluncurkan sistem pengawasan berlapis, pelatihan rutin bagi penyiap makanan, dan platform monitoring publik . Meski ada upaya perbaikan, data terbaru menunjukkan capaian hanya 6 % dari target 82,9 juta penerima pada akhir November 2025, menandakan program masih jauh dari harapan.
Apa yang dibutuhkan agar MBG tidak berakhir sekadar janji politik?
Pertama, penerbitan Perpres yang mengikat semua pemangku kepentingan, menetapkan alur dana, standar mutu, serta sanksi bagi pelanggar.
Kedua, pemetaan kelembagaan nasional yang jelas, menyatukan kementerian, BGN, pemerintah daerah, dan koperasi dalam satu platform koordinasi.
Ketiga, panduan teknis nasional berupa SOP terstandarisasi, checklist kualitas, dan pelatihan wajib bagi semua pengelola dapur. Keempat, sistem audit berbasis teknologi yang memungkinkan pelaporan real‑time, deteksi “kecaruran”, dan respons cepat. Kelima, investasi infrastruktur dasar—listrik stabil, air bersih, dan transportasi logistik yang dapat diandalkan.
Hanya dengan fondasi regulasi yang kuat, koordinasi kelembagaan yang terstruktur, serta kontrol mutu yang konsisten, harapan akan anak‑anak Indonesia yang mendapatkan gizi optimal dapat terwujud. Kasak‑kusuk kini harus berubah menjadi keberhasilan berkelanjutan yang memberi manfaat nyata bagi generasi mendatang.