Pandurakyat.id – Di tengah kesibukan kota Lewoleba yang mulai terlihat sore itu, ketika anak muda lainnya sudah bersiap untuk malam minggu, menikmati riangnya liburan—sekumpulan pemuda justru berjalan dengan langkah berbeda, membawa semangat dan tekad yang tak biasa.
Mereka bukan sekadar menantikan malam yang penuh keceriaan, melainkan mengisi waktu dengan sebuah misi mulia; mengajarkan cinta dan kepedulian pada bumi sejak usia dini.
Di saat kota bersiap menyambut gelap, mereka menyulam harapan hijau untuk generasi masa depan, melalui Kelas Ekologi yang penuh warna dan cerita, di Simpang Lima Wangatoa, Lewoleba, Lembata, Sabtu 26 Juli 2025.
Mereka adalah Koalisi Kopi Lembata yang diketuai oleh Ama Wutun, berkolaborasi dengan Forum Diskusi Pinggir Jalan, dari Lembata-Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tujuan utama dari kelas ekologi oleh penyelengra Odillia Keron, agar anak-anak dapat mengenal dan menjaga bumi sejak dini. Melalui pendekatan seperti permainan interaktif dan dongeng lingkungan, anak-anak diajak untuk memahami keadaan bumi dengan cara yang mudah dicerna dan menyenangkan.
“Kami menggunakan game – game inteaktif dan cerita dogeng – dogeng seputar lingkungan, agar anak-anak bisa mengenal dan menjaga bumi sejak usia dini,” kata Lia yang juga anggota Koalisi Kopi Lembata kepada Pandurakyat.
Lia lalu menjelaskan bahwa anak-anak tidak hanya mendengar cerita, tetapi juga terlibat langsung dengan alat peraga berupa gambar bumi dan komponennya, sehingga terjalin komunikasi interaktif yang menstimulasi rasa ingin tahu mereka.
Beberapa pertanyaan sederhana seperti “ini gambar apa?”, “mengapa bumi bersedih?”, hingga “bagaimana cara supaya bumi tak bersedih?” menjadi jembatan untuk menanamkan pesan penting, bahwa bumi bisa “bersedih” jika kita tidak menjaganya.

Melalui jawaban mudah seperti membuang sampah pada tempatnya, menanam pohon, membawa air minum sendiri, dan mengurangi penggunaan plastik saat jajan, anak-anak belajar langsung untuk berperan aktif menjaga lingkungan.
“Karena tujuannya ke anak-anak jadi masih menggunakan alat peraga yaitu gambar bumi yang dan komponennya, lalu diceritakan secara interaktif, ini gambar apa?, mengapa bumi bersedih?, bagaimana caranya biar bumi tidak bersedih? kurang lebih seperti itu lalu diselipkan dengan jawaban; bumi bersedih karena kita tidak menjaga bumi, cara menjaga bumi yaitu dengan cara buang sampah ditempat sampah, menanam pohon, bawa air kalo berpergian, dan kalo beli jajan kurangi pake plastic” sisanya main game tentang menjaga lingkungan,” jelasnya.
Durasi kegiatan ini berlangsung sekitar satu jam, namun penuh makna. Meski saat awal pelaksanaan tantangan terbesar mereka adalah menjaga fokus anak-anak yang masih cenderung mencari kesenangan sendiri seperti menggambar, mewarnai, atau membaca buku, semangat dan antusiasme mereka tetap tinggi.
Respons dari para orang tua pun sangat positif, mereka merasa senang melihat anak-anak bisa bermain sambil belajar dan berharap kegiatan ini terus berlanjut dan semakin berkembang.
Sementara itu, dari segi dampak, anak-anak mulai memahami hal-hal sederhana seperti pentingnya menjaga kebersihan bumi dan menanam pohon, sebuah langkah kecil yang diharapkan berbuah pada cinta lingkungan jangka panjang.
Harapan besar dari penyelenggara adalah kegiatan ini bisa menjadi agenda rutin dua mingguan yang tidak hanya memperluas wawasan anak-anak tapi juga mengajak lebih banyak orang tua dan masyarakat untuk bersama-sama mendukung upaya ini.
“Kami berharap kegiatan ini bisa rutin, dan anak-anak yang ikut bertambah banyak. Kami berharap juga orang tua dan pemerintah bisa mendukung kegiatan kecil kami,” pungkas Lia.
Selayang Pandang Koalisi Kopi: Cerita Sore dan Cinta untuk Bumi

Dalam contrekan flim Sore, istri dari masa depan yang datang kembali kepada suaminya untuk memperbaiki kesalahan masa lalu.
Dimana dalam langkah tenangnya, terdapat harapan dan penyesalan. Sore hadir bukan hanya sebagai pengingat, tetapi juga sebagai kesempatan untuk memperbaiki dan memberi kesempatan.
Demikian pula dengan Koalisi Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim, yang akrab dikenal sebagai Koalisi KOPI. Mereka adalah sang “Sore” masa kini, yang datang menemui bumi—suaminya di masa depan—dengan penuh dedikasi dan semangat memperbaiki kesalahan manusia terhadap alam.
Melalui gerakan, aksi, dan kerja nyata, Koalisi Kopi hadir bukan hanya untuk menyuarakan perubahan, tapi untuk berterima kasih kepada bumi yang masih memberi kita nafas dan kehidupan.
Koalisi Kopi, lahir dari upaya kolaborasi berbagai komunitas anak muda di NTT sejak November 2020, adalah wujud nyata dialog dan aksi bersama untuk menjaga bumi.
Dimulai dari pemetaan komunitas dan kunjungan ke sejumlah daerah, mereka berhasil merangkul 134 komunitas anak muda yang memiliki satu tujuan mulia: beraksi iklim bersama.
Tidak berhenti sebagai kumpulan suara, di tahun 2023 Koalisi KOPI membentuk struktur resmi bernama Komite Eksekutif Daerah (KED) dan Komite Eksekutif Flobamoratas (KEF) sebagai penggerak gerakan yang berkelanjutan dan terorganisir.
Khusus di Lembata, KED yang diketuai oleh Ama Wutun dengan Ina Jari sebagai sekretaris ini mulai melakukan aksinya kembali pada awal 2025 dengan penuh gairah dan komitmen.
Mereka telah melakukan banyak langkah nyata; dari menanam mangrove di ujung bandara Wonopito Lewoleba, menggelar Lingkar Belajar Mangrove sebagai solusi alami menghadapi perubahan iklim secara daring, hingga riset mendalam di Desa Kolontobo, Ile Ape.
Sebuah perjalanan panjang yang tidak sekadar gerakan aktivisme, tetapi juga ungkapan terima kasih bumi atas usaha kecil yang memperpanjang usia kehidupan di planet ini.
Ibarat Sore yang datang sebagai hadiah harapan dan usaha perbaikan, Koalisi KOPI hadir sebagai matahari sore yang menyinari bumi dengan kerja nyata, melindungi dan merawatnya agar kelak suami yang adalah bumi itu tetap kokoh dan hidup, untuk anak cucu yang akan datang.
Upaya kecil hari ini adalah nafas panjang bagi bumi esok hari. Dari Lewoleba ke seluruh NTT, anak muda yang penuh semangat ini mengajak kita semua untuk tidak hanya menunggu masa depan, tetapi turut serta membentuknya.
Karena bumi bukan hanya warisan, tetapi tempat kita berjuang dan bersyukur.
Red: NLA/TL