Pandurakyat.id – Baru -baru ini mencuat kasus pengelolaan aset publik Taman Ria Swaolsa Tite yang sarat dugaan pungutan liar, pengrusakan fasilitas, dan pengambilalihan kewenangan tanpa prosedur proper juga menegaskan dominasi kepentingan kelompok tertentu yang menggunakan jabatan publik untuk keuntungan politik dan ekonomi mereka.
Ketika kewenangan pengelolaan aset publik diambil alih tanpa prosedur yang jelas dan akuntabel—misalnya, tanpa pelelangan atau pengangkatan resmi ini adalah bentuk nyata birokrasi patrimonial. Kelompok tertentu memanfaatkan posisi mereka untuk menguasai aset strategis, yang seharusnya berada di tangan pemerintah sebagai pelayan rakyat, dan malah jadi alat politik atau ekonomi eksklusif kelompok itu.
Dikesempatan lain, kritik pedas datang dari Wakil Ketua II DPRD Langobelen Gewura Fransiskus, terkait buruknya pelayanan dasar seperti air bersih oleh PDAM Lembata. Ironisnya, perhatian pemerintah daerah terkesan lebih sibuk pada proses rekrutmen pegawai yang penuh dengan isu nepotisme dan kolusi daripada fokus pada peningkatan kualitas pelayanan.
Suasana khas semacam ini dalam praktik birokrasi di Indonesia, terutama di tingkat daerah seperti Kabupaten Lembata, hubungan politik sering kali menjadi latar belakang utama dalam pengambilan kebijakan, mulai dari rekrutmen staf hingga pembagian jabatan.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari konsep patronase atau birokrasi patrimonial yang telah lama dikaji oleh para ahli ilmu sosial. Patronase adalah hubungan antara patron (penguasa) dan klien (bawahan) yang didasarkan pada ikatan pribadi dan hubungan loyalitas seumur hidup, bukan semata aturan administratif formal.
Max Weber dalam teori birokrasi patrimonilnya menjelaskan bagaimana pejabat berfungsi sebagai pelayan pribadi sang pemimpin, bukan sebagai pelayan publik yang netral.
Patronase dalam bentuk distribusi jabatan dan sumber daya dilakukan bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi demi mempertahankan kekuasaan dan tim sukses politik.
Fenomena tersebut menciptakan siklus di mana hak-hak dasar warga menjadi korban dari kepentingan elite birokrasi dan politik lokal. Data menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lembata terus menurun, menandakan kegagalan manajemen dan kemandirian fiskal yang kritis.
Alih-alih memperbaiki infrastruktur dan pelayanan, pemerintah lokal justru tenggelam dalam manuver politik dan pembagian kekuasaan yang sarat patronase.
Kasus PDAM Lembata dengan persoalan utama belum terbangunnya Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) adalah cermin nyata kegagalan pemerintah yang berkepanjangan. Direktur PDAM mengaku kesulitan karena ketergantungan penuh pada kebijakan dan anggaran pemerintah daerah dan pusat yang belum siap.
Namun, tuduhan fokus kebijakan yang salah dan nepotisme di internal birokrasi semakin memperburuk kredibilitas pemerintahan.
Sementara kasus Taman Ria, Bersadarkan informasi yang dihimpun Tim Pandu, Camat Nubatukan sebelumnya telah melayangkan surat yang berisi penolakan kepada Bupati Lembata yang memberikan kewenangan pengelolaan Taman Ria Swaolsa Tite kepada pihak ketiga yakni CV Palma Jaya.
Dia menilai langkah yang diambil Bupati Kanis ini salah dan tidak sesuai dengan asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan benar.
Kendati teguran terhadap pihak pengelola pun tidak dihiraukan begitu saja. Malahan, ia mendapat tekanan keras dari Bupati Kanis yang secara langsung meminta agar camat mengeluarkan rekomendasi untuk mengizinkan operasional pasar malam yang diselenggarakan oleh CV Dakara Prima tanpa pungutan retribusi, sebuah kebijakan yang jelas bertentangan dengan Perda Nomor 1 Tahun 2024.
Instruksi Bupati tersebut bukan hanya mengabaikan aturan hukum, tetapi juga melemahkan potensi Pendapatan Asli Daerah yang menjadi hak rakyat.
Pengambilalihan ini tidak hanya melanggar aturan tata kelola pemerintahan yang transparan, tapi juga melemahkan kontrol masyarakat dan memperbesar potensi korupsi. Semua praktik ini menggambarkan realitas patronase yang menjerat birokrasi kabupaten, jauh dari idealisme pelayanan bagi rakyat.
Nelayan, Tani, Ternak: Antara Niat dan Tidak
Program pertama yang diprioritaskan, kata Kanis kepada media pasca dilantik adalah mengurangi ketergantungan bantuan untuk Kabupaten Lembata dari luar daerah dengan mendorong produktivitas “Nelayan, Petani, dan Peternak untuk mengolah potensi sumber daya alam daerah.”
Program ini bertalian dengan tagline paslon TUNAS; “Nelayan, Tani, dan Ternak.”
Sebelumnya diberbagai kesempatan kampanye, Bupati Petrus Kanisius Tuaq, tegas menyatakan, “kami akan memberdayakan nelayan, petani, dan peternak dengan, skema subsidi pupuk, akses pasar, serta pelatihan teknologi modern.”
Yang terjadi selama 100 hari masa jabatan justru berbalik, dari desa pesisir hingga wilayah pegunungan, keluhan petani, nelayan, dan peternak kecil tetap sama tanpa ada perubahan berarti. Pupuk masih langka atau disunat oleh tengkulak, nelayan terus kesulitan mengakses BBM subsidi, dan peternak kecil masih menunggu pendampingan teknis yang tak kunjung datang.
Bila benar bupati memiliki niat membenahi situasi, tentu langkah konkrit sudah terlihat di lapangan. Namun kenyataannya, yang ada hanyalah seremonial dan peresmian tanpa makna, yang tidak menyentuh kebutuhan riil akar rumput.
Suara protes akar rumput juga tersebar di media sosial, bahwa mereka tidak butuh pejabat datang dengan membawa baliho dan kamera tapi yang mereka butuh pupuk yang tiba tepat waktu, akses air yang memadai, dan harga hasil panen yang adil tanpa perantara yang merugikan.
Ketidak seriuasan bupati Lembata juga terlihat dari bagimana ia mengambil keputusan mendukung proyek pembangkit listrik tenaga geotermal secara terburu-buru tanpa melibatkan partisipasi atau persetujuan warga lokal.
Keputusan yang memaksakan kehendak pemerintah daerah dan penguasa demi mempertahankan kekuasaan politik, meskipun banyak warga yang menolak karena khawatir kehilangan lahan pertanian, sumber air, dan warisan budaya.
Penolakan rakyat ini beralasan kuat, namun diabaikan oleh pemerintahan Bupati yang terkesan mengabaikan aspirasi masyarakat demi keuntungan politik dan proyek ekonomi.
Hal ini menjadi penting persis ketika kabupaten Lembata Dalam Angka 2024 (BPS Kabupaten Lembata) menunjukkan bahwa 33,90% penduduk usia kerja yang beraktivitas di sektor pertanian. Menandakan bahwa sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama penghidupan masyarakat.
Dalam konteks ini, keluhan petani yang kesulitan mendapatkan pupuk tepat waktu, nelayan yang terus menerus menghadapi kesulitan mendapatkan BBM subsidi, dan peternak kecil yang belum mendapatkan pendampingan teknis, menjadi bukti nyata kurangnya pembenahan yang berdampak langsung ke akar rumput.
Alih-alih seratus hari pertama seharusnya menjadi pijakan menggalang kepercayaan publik, seremonial dan janji-janji kosong tanpa realisasi nyata justru semakin memperlemah harapan masyarakat.
Jika sungguh ingin meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki kualitas hidup masyarakatnya, bupati harus mengambil tindakan nyata dan kebijakan konkret yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat, bukan hanya menampilkan pencitraan dan acara seremoni tanpa hasil apalagi sibuk distribusi keluarga dan kerabat sembari mengangguk-angguk arahan dari Kupang dan Jakarta.
Editor: Redaksi