
Oleh: Rahmad Boli Raya
Di tengah gegap gempita kebijakan efisiensi anggaran pendidikan era kepemimpinan Prabowo-Gibran, tersembunyi sebuah ironi yang menyayat hati dunia pendidikan Indonesia. Kebijakan yang diklaim sebagai langkah strategis untuk mengoptimalkan penggunaan dana negara ini justru berpotensi mengguncang fondasi pendidikan nasional, terutama bagi para guru honorer yang selama ini menjadi tulang punggung pendidikan di berbagai pelosok negeri.
Salah satu sektor yang terdampak signifikan adalah pendidikan. Pemangkasan anggaran di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencapai Rp8 triliun, dari Rp33,5 triliun menjadi Rp25 triliun. Pengurangan ini berpotensi mengancam berbagai program vital, termasuk kesejahteraan guru, pelatihan peningkatan kompetensi, dan implementasi kurikulum baru. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim, mengkhawatirkan bahwa pemotongan anggaran ini dapat menghambat realisasi program-program unggulan yang berdampak langsung pada kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru.
Namun Pernyataan Menteri Pendidikan yang menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak akan mengorbankan kualitas pendidikan terasa kontradiktif dengan realitas di lapangan. Bagaimana mungkin kualitas pendidikan tidak terpengaruh ketika para guru honorer, yang jumlahnya mencapai lebih dari 600.000 orang, harus menghadapi ketidakpastian yang semakin besar? Padahal, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen seharusnya menjamin kesejahteraan seluruh tenaga pendidik, namun implementasinya masih jauh dari harapan.
Dampak lain yang mengemuka adalah ancaman terhadap keberlangsungan guru honorer. Pemangkasan anggaran berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja massal bagi guru honorer, mengingat status dan kekuatan hukum mereka yang rentan. Kebijakan serupa pernah terjadi pada tahun 2024, di mana ribuan guru honorer kehilangan pekerjaan akibat efisiensi anggaran.
Dampak Efisiensi Anggaran: Mengorbankan Masa Depan Guru Honorer
Tapi apalah daya Realitas pahit terungkap ketika menyusuri lorong-lorong sekolah di pelosok negeri. Di sebuah madrasah swasta di salah saatu Kabupaten, misalnya, dari 15 guru yang mengabdi, 12 di antaranya adalah guru honorer dengan gaji yang tidak lebih dari Rp 800.000 per bulan. Mereka tetap bertahan, mengajar dengan sepenuh hati, meski honor yang diterima jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Situasi semakin memprihatinkan di daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan. Di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, seorang guru honorer rela menempuh perjalanan berjam-jam melintasi medan yang sulit, hanya untuk memastikan anak-anak Indonesia tetap mendapatkan pendidikan yang layak. Honor Rp 500.000 per bulan seolah tidak sebanding dengan pengorbanan mereka, namun dedikasi untuk mencerdaskan anak bangsa tidak pernah surut.
Melihat Guru honorer di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) berada dalam posisi yang lebih rentan akibat kebijakan efisiensi anggaran ini. Di wilayah yang minim infrastruktur pendidikan dan aksesibilitas terbatas, guru honorer menjadi ujung tombak keberlangsungan pembelajaran. Namun, mereka justru semakin terpinggirkan dengan kebijakan yang tidak berpihak pada peningkatan kesejahteraan mereka.
Di banyak daerah 3T, gaji pokok guru honorer sering kali jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Bahkan, ada yang hanya memperoleh Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per bulan, jumlah yang jelas tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan pemangkasan anggaran, harapan untuk mendapatkan kenaikan gaji atau tunjangan tambahan semakin menipis.
Apalagi melihat kurang lebih 15.000 sekolah di Indonesia masih kekurangan guru ASN dan PPPK. Di sinilah peran vital guru honorer terlihat jelas. Mereka mengisi kekosongan, memastikan proses pembelajaran tetap berjalan, meski dengan fasilitas dan kesejahteraan yang minimal. Sekolah-sekolah swasta, terutama di daerah pinggiran, sangat bergantung pada pengabdian guru honorer. Tanpa mereka, banyak sekolah mungkin harus menutup pintunya.
Transformasi status guru honorer menjadi ASN melalui jalur PPPK yang dijanjikan pemerintah ternyata berjalan sangat lambat. Sementara itu, kebijakan efisiensi anggaran pendidikan yang baru dicanangkan semakin menambah kekhawatiran. Bagaimana mungkin sekolah-sekolah yang selama ini sudah kesulitan menggaji guru honorer secara layak bisa bertahan jika anggaran semakin diperketat?
Di tengah pusaran kebijakan efisiensi ini, nasib guru honorer seolah terabaikan. Mereka yang selama ini telah menjadi pahlawan pendidikan di berbagai pelosok negeri harus kembali menelan pil pahit ketidakpastian. Padahal, kontribusi mereka dalam membangun generasi bangsa tidak bisa dipandang sebelah mata.
Efisiensi memang diperlukan, tetapi tidak boleh mengorbankan komponen paling vital dalam sistem pendidikan. Pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk melindungi dan memberdayakan guru honorer. Pemetaan ulang kebutuhan guru, percepatan pengangkatan melalui jalur PPPK, dan pemberian tunjangan khusus bagi guru honorer di daerah tertinggal adalah beberapa langkah yang mendesak untuk dilakukan.
Tanpa kebijakan yang melindungi guru honorer, efisiensi anggaran pendidikan hanya akan menjadi goresan luka baru dalam sejarah pendidikan Indonesia. Sudah saatnya pemerintah membuktikan bahwa efisiensi anggaran bisa berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan guru honorer. Mereka bukan sekadar angka dalam statistik pendidikan, tetapi jiwa-jiwa yang telah mengabdikan hidupnya demi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Nasib guru honorer tidak boleh dibiarkan mengambang dalam ketidakpastian. Mereka adalah pilar penting pendidikan nasional yang telah membuktikan pengabdiannya dalam situasi paling sulit sekalipun. Jika pemerintah serius dengan komitmennya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka nasib guru honorer harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan yang diambil. Karena pada akhirnya, kualitas pendidikan Indonesia akan sangat bergantung pada kesejahteraan dan kepastian masa depan para pendidiknya, termasuk guru honorer yang selama ini menjadi garda terdepan pendidikan di berbagai pelosok negeri.
Jika efisiensi anggaran terus dilakukan tanpa memperhatikan kesejahteraan tenaga pendidik, terutama di daerah 3T, maka dampaknya bisa sangat luas: kualitas pendidikan menurun, ketimpangan akses pendidikan semakin tajam, dan pada akhirnya, generasi mendatang menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak. Pendidikan bukan sekadar soal angka dalam anggaran negara, melainkan investasi bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus mencerminkan komitmen nyata terhadap kesejahteraan guru dan keberlanjutan pendidikan, bukan sekadar langkah-langkah efisiensi yang mengorbankan mereka yang telah berjuang di garda terdepan.