
Sebuah Ucapan Selamat dan Catatan Kecil dari Seorang yang Pernah Menetap di Kalikur dan lahir besar di kedang
Silaturahmi Akbar Keluarga Leu Aliur se-Indonesia yang akan digelar pada 12–14 Juni 2025 di Kalikur bukanlah peristiwa biasa. Ia adalah sejarah itu sendiri, perjumpaan besar yang lahir dari kesadaran kolektif warga akan pentingnya mengikat kembali tali kekerabatan, merawat jejak, dan menenun masa depan bersama. Di tengah fragmentasi sosial yang meluas, momen seperti ini adalah oase yaitu ruang di mana identitas dikonsolidasikan dan cita-cita bersama dibicarakan ulang.
Sebagai seseorang yang pernah tinggal di Kalikur sekitar tahun 2014–2015 semasa menempuh pendidikan di MAN Kedang -kini berubah nama menjadi MAN Lembata-, saya punya ingatan personal tentang bagaimana kompleks dan uniknya ruang ini. Kalikur bukan sekadar desa, tetapi simpul dari berbagai kisah dan titik temu sejarah masyarakat Kedang yang hingga kini masih menyisakan banyak ruang kosong dan debat terbuka. Aliur, sebagaimana digambarkan dalam tulisan antropolog R.H. Barnes dalam artikelnya “Alliance and Warfare in an Eastern Indonesian Principality: Kédang in the Last Half of the Nineteenth Century” (2001), bukan hanya kampung, melainkan kota pelabuhan, pusat interaksi antaragama, pendidikan, dan pemerintahan. Ia menjadi episentrum dinamika sosial dalam kawasan Kedang di masa lampau dan seperti halnya setiap pusat sejarah, Aliur juga menyimpan banyak pertanyaan yang belum selesai dijawab.
Namun hingga hari ini, setiap kali nama “Kedang” disebut dalam ruang-ruang publik, kita masih sering menjumpai problematika. Sejarah Kedang tampaknya belum menemukan satu narasi yang mapan. Tidak jarang diskusi-diskusi tentang Kedang berujung pada silang pendapat yang tidak produktif karena minimnya rujukan yang sahih dan menyeluruh. Dalam ruang inilah, tulisan ini hadir -tak lain dan tak bukan- untuk mengucapkan selamat dan sukses bagi seluruh panitia dan keluarga besar Leu Aliur atas terselenggaranya Silaturahmi Akbar ini.
Ucapan selamat ini saya sampaikan bukan hanya dalam semangat kekeluargaan, tetapi juga dengan harapan dan opini sederhana: alangkah baiknya jika dari forum ini dapat lahir sebuah karya monumental, sebuah buku yang merekam Kedang dalam narasi yang utuh dan reflektif. Sebagaimana pernah saya tulis dalam artikel berjudul “Sejarah Kedang di Ambang Kepunahan” yang dimuat di Koran Timor (korantimor.com), kegelisahan atas absennya dokumentasi sejarah yang serius tentang Kedang telah lama muncul. Tulisan tersebut tidak lain hanyalah sebentuk kegelisahan dan ucapan selamat, yang saya barengi dengan harapan akan lahirnya karya tulis serius dari orang Kedang sendiri.
Dan forum Silaturahmi Akbar ini adalah momentum tepat untuk memulai.
Tentu akan lebih membanggakan bila buku yang kelak lahir bukan hanya kumpulan narasi nostalgia, tetapi juga hasil dari kajian yang berpijak pada metode ilmiah. Bukan untuk menyeragamkan ingatan, tetapi justru untuk membuka ruang diskusi yang sehat. Dalam tradisi ilmiah, perdebatan itu wajar bahkan perlu. Terlebih jika narasi sejarah itu lahir dari tangan-tangan anak Kedang sendiri, yang hari ini tidak sedikit telah lahir dari rahim kampus dan mengisi banyak ruang intelektual di berbagai belahan Indonesia.
Buku tentang Kedang akan menjadi pelengkap penting dalam usaha kolektif untuk menyatukan ingatan, tanpa harus menegasikan perbedaan. Ia bisa menjadi pijakan awal bagi generasi muda diaspora yang ingin memahami akar identitasnya. Cerita lisan para tetua, ditulis ulang oleh generasi muda, adalah bentuk keberlanjutan memori. Bentuknya bisa esai, narasi antropologis, profil tokoh adat, hingga puisi diaspora. Intinya, ia harus menjadi pernyataan bersama bahwa Kedang bukan hanya tentang masa lalu yang dilupakan, tetapi tentang masa depan yang layak diperjuangkan.
Mari jadikan Silaturahmi Akbar ini bukan sekadar temu kangen, tetapi juga ruang diskusi tentang sejarah dan arah ke depan. Jika dari forum ini lahir satu buku tentang Kedang, maka itu akan menjadi warisan paling berharga bukan hanya bagi kita hari ini, tetapi juga bagi mereka yang akan datang. Sebuah warisan yang berkata: kami tidak diam, kami peduli, kami menulis sejarah kami sendiri.
Kalikur bukan hanya titik temu, tetapi juga titik tolak. Titik tolak untuk memulai lagi, membicarakan sejarah tanpa ketegangan, dengan cara yang lebih ilmiah, lebih terbuka, dan lebih jujur. Mari kita hadir, mari kita berbicara, dan mari kita menulis. Karena setiap bangsa yang besar, dimulai dari keberanian untuk menulis kisahnya sendiri.
Sekali lagi, selamat dan sukses atas terselenggaranya Silaturahmi Akbar Keluarga Leu Aliur se-Indonesia. Semoga acara ini menjadi ruang tumbuhnya gagasan besar, menguatkan solidaritas, sekaligus memperkaya pengetahuan kita tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita hendak menuju.