
Balai Kota Yogyakarta menjadi saksi ruang dialog kebangsaan yang hangat dan reflektif dalam sebuah kegiatan bertajuk “Orasi Akustik Wawasan Kebangsaan”, yang dirangkai dengan talk show bertema “Dampak Shock Culture”. Kegiatan ini diinisiasi sebagai wadah untuk menyuarakan keluh kesah, aspirasi, dan penghargaan dari mahasiswa asal Nusa Tenggara Timur (NTT) dan kawasan Indonesia Timur secara umum, kepada masyarakat dan pemerintah Kota Yogyakarta.
Tiga narasumber utama hadir dalam forum ini: Achmad Charris Zubair, budayawan terkemuka sekaligus dosen filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM); Chandra Akbar Ishamata, anggota DPRD Kota Yogyakarta; serta Nasrudin L. Ata, perwakilan mahasiswa dan tokoh komunitas Kuamakeyo. Acara ini juga melibatkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) dan tokoh masyarakat dari berbagai kelurahan di Kota Yogyakarta sebagai audiens aktif yang diharapkan menjadi penghubung informasi dan respons dari tingkat komunitas.
Dalam sambutannya, Nasrudin L. Ata menyampaikan pernyataan yang menyentuh dan penuh kesadaran sosial.
“Kami mahasiswa NTT mengucapkan sorry dan thank you untuk Yogyakarta. Sorry apabila dalam menuntut ilmu di kota ini ada sikap atau tindakan kami yang mungkin menimbulkan ketidaknyamanan. Tapi kami juga ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya, karena Jogja telah menjadi rumah belajar, rumah bertumbuh, dan rumah harapan bagi kami,” ungkapnya.
Kata-kata tersebut menjadi titik awal dari diskusi yang hangat namun kritis, membahas pengalaman mahasiswa Indonesia Timur yang sering kali dihadapkan pada shock culture—yaitu perbedaan nilai, kebiasaan, bahkan persepsi, yang kadang menciptakan jarak antara mahasiswa pendatang dan masyarakat lokal. Forum ini menjadi penting karena menyuarakan hal-hal yang selama ini mungkin hanya beredar sebagai bisik-bisik di kos, kampus, atau media sosial, namun belum benar-benar disampaikan dalam ruang formal dan inklusif seperti ini.
Achmad Charris Zubair menggarisbawahi pentingnya membaca kembali relasi sejarah antara Yogyakarta dan NTT. Ia mengangkat figur Prof. Herman Johanes, tokoh besar dari NTT yang pernah menjabat sebagai Rektor UGM (1961–1966), dan kini namanya diabadikan menjadi salah satu nama jalan penting di kota ini.
“Hubungan Jogja dan NTT bukan relasi sementara. Ini relasi sejarah, relasi kultural, bahkan relasi moral yang harus terus dijaga. Jangan sampai karena perbedaan budaya kita menjadi saling curiga, karena bangsa ini besar justru karena keberagamannya,” jelas Charris.
Senada dengan itu, Chandra Akbar Ishamata menegaskan bahwa DPRD bersama Pemerintah Kota Yogyakarta terus mendorong kebijakan yang menjamin kenyamanan dan perlindungan terhadap mahasiswa perantau.
“Kami paham bahwa mahasiswa dari Indonesia Timur menghadapi banyak tantangan—baik sosial, ekonomi, maupun kultural. Maka, regulasi dan kebijakan kami berorientasi untuk menjamin rasa aman dan kemudahan akses, termasuk terkait tempat tinggal, hak sipil, dan aktivitas budaya,” ujarnya.
Diskusi juga mencuatkan persoalan tentang pengelolaan rumah kos yang dianggap belum sepenuhnya berpihak pada mahasiswa perantau. Perwakilan LPMK yang hadir menyatakan komitmennya untuk membawa suara mahasiswa ini ke tingkat kelurahan, termasuk menyosialisasikan kepada para pengelola kos tentang pentingnya membangun relasi kemanusiaan, bukan hanya relasi bisnis.
Menariknya, kegiatan ini tidak hanya sarat wacana, tetapi juga diwarnai ekspresi budaya. Pada kesempatan tersebut, komunitas Kuamakeyo menampilkan tarian dolo-dolo, sebuah tarian tradisional dari NTT yang penuh semangat dan kebersamaan. Tarian ini disambut antusias oleh seluruh peserta, menjadi momen katarsis yang menyatukan suara, gerak, dan identitas. Dalam gerak kolektif itu, tergambar narasi tentang perjuangan, rasa syukur, dan harapan yang tidak bisa diwakili oleh kata-kata saja.
Penampilan orasi akustik mahasiswa juga menambah kedalaman suasana. Lagu-lagu yang dibawakan, sebagian dalam bahasa daerah, menjadi jembatan emosional antara mahasiswa dan audiens, memperlihatkan bahwa suara dari timur bukan hanya tentang tuntutan, tapi juga tentang cinta terhadap tanah air dan kota yang ditinggali.
Kegiatan ini membuktikan bahwa pendidikan tidak hanya berlangsung di ruang kelas. Dialog sosial semacam ini adalah bagian penting dari proses belajar: belajar mendengarkan, belajar menghargai, belajar merawat keberagaman. Yogyakarta, dengan semua tantangan dan keistimewaannya, telah menjadi panggung di mana mahasiswa NTT dan Indonesia Timur bisa berdiri dan bersuara—bukan untuk menjadi pusat, tetapi untuk menjadi bagian dari narasi kebangsaan yang utuh.
Ketika mahasiswa menyampaikan aspirasi dengan kepala dingin dan hati terbuka, dan ketika pemerintah serta masyarakat merespons dengan empati dan komitmen, maka perbedaan tidak lagi menjadi ancaman, tetapi sumber kekuatan. Inilah yang dicita-citakan dalam orasi akustik kebangsaan kali ini: membangun harmoni, bukan homogenitas; merawat keindonesiaan, bukan hanya identitas.
