
Pandurakyat.id – Tanggal 23 Juli setiap tahun diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Namun, di tengah semarak perayaan di berbagai kota besar, masih banyak anak-anak Indonesia yang tidak bisa menikmati makna hari tersebut. Salah satu potret nyata ketimpangan itu datang dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ketika anak-anak di kota besar disuguhi panggung, hadiah, dan janji-janji kesejahteraan, anak-anak NTT masih bergulat dengan nasib: apakah besok mereka bisa kembali ke sekolah, atau lagi-lagi hanya bisa menatap dari kejauhan?
Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) NTT pada 8 Juli 2025, mencatat sebanyak 145.268 anak berstatus sebagai Anak Tidak Sekolah (ATS) yang tersebar di 22 kabupaten/kota di NTT. Ini bukan sekadar angka. Di balik angka itu terdapat mimpi yang tertahan, masa depan yang digantungkan, dan hak dasar yang belum terpenuhi.
Permasalahan ini tidak merata, ada kabupaten-kabupaten yang menyumbang jumlah ATS sangat tinggi. Misalanya TTS (Timor Tengah Selatan) dengan 22.459 anak, SBD (Sumba Barat Daya) 13.900 anak, dan TTU (Timor Tengah Utara): 5.913 anak, juga Manggarai Timur dengan total 6.144 anak, bahkan kabupaten Sikka sebanyak 4.942 anak, dan Belu: 7.060 anak.
Kabupaten seperti TTS dan SBD menjadi dua daerah dengan angka ATS tertinggi secara absolut. Ironisnya, dua wilayah ini termasuk dalam kategori daerah yang secara historis memiliki akses pendidikan terbatas dan minim dukungan infrastruktur. Namun demikian, angka verifikasi data masih rendah, artinya banyak dari angka-angka tersebut belum mendapatkan intervensi nyata karena belum masuk ke tahap validasi.
Krisis Pendidikan yang Terabaikan
Pendidikan adalah hak dasar setiap anak sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 31, yang menegaskan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Namun, fakta mencengangkan di NTT menunjukkan bahwa negara gagal menjamin hak itu untuk ratusan ribu anak.
Narasi menyedihkan ini bukan muncul tiba-tiba. Ini adalah hasil dari ketidakkonsistenan kebijakan, kurangnya perhatian struktural, dan minimnya keberpihakan terhadap anak-anak dari kalangan paling miskin, terpencil, dan rentan.
Kegagalan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam membangun ekosistem pendidikan yang inklusif dan terjangkau menjadi penyebab utama membengkaknya angka ATS.
Permasalahan ketidaksekolahan anak-anak di NTT tidak bisa disederhanakan hanya sebagai akibat kemiskinan. Memang, kondisi ekonomi keluarga adalah pemicu utama, namun banyak faktor lain turut memperparah keadaan:
Pertama, biaya pendidikan tidak langsung. Banyak keluarga tidak mampu menanggung biaya transportasi, seragam, sepatu, hingga makan siang anak-anak mereka. Meskipun pemerintah telah menggratiskan biaya sekolah, kenyataannya akses ke sekolah itu sendiri masih sulit dan mahal.
Kedua, keterbatasan infrastruktur dan geografi. Banyak sekolah yang terletak jauh dari pemukiman. Jalan rusak, transportasi terbatas, dan kondisi medan yang sulit membuat banyak anak memilih berhenti sekolah daripada menempuh perjalanan berjam-jam setiap hari.
Ketiga, kekerasan dan ketidaknyamanan di lingkungan sekolah. Masalah bullying, intimidasi, dan lingkungan yang tidak ramah anak juga menjadi penyebab anak memilih putus sekolah. Sayangnya, program perlindungan dan pendampingan psikososial di sekolah-sekolah di NTT masih sangat minim.
Keempat, kurangnya guru berkualitas dan sarana prasarana. Banyak sekolah kekurangan guru atau memiliki guru-guru dengan kualifikasi rendah, belum lagi fasilitas belajar yang terbatas bahkan rusak. Anak-anak yang bersemangat pun pada akhirnya kehilangan motivasi untuk melanjutkan pendidikan.
Kelima, Pemerintah: Diam atau Sibuk Berdalih? Respons pemerintah terhadap krisis ini masih sangat jauh dari memadai. Verifikasi data yang lamban, anggaran yang tidak transparan, serta minimnya inovasi kebijakan menjadikan masalah ATS seolah “dibiarkan” sebagai statistik semata. Kabupaten dengan angka ATS tinggi seperti TTS dan SBD justru tidak menunjukkan progres konkret dalam upaya penanganan.
Program-program bantuan pun lebih bersifat sporadis dan tidak terukur. Banyak program yang hanya menyasar formalitas seremonial dan tidak menjangkau anak-anak yang benar-benar membutuhkan. Tidak ada sistem pengawasan terpadu, tidak ada pendekatan lintas sektor yang menyentuh akar permasalahan.
Pemerintah daerah dan pusat perlu melakukan reformasi kebijakan secara mendalam dan konkret. Verifikasi cepat data ATS dan menjadikannya landasan utama kebijakan berbasis kebutuhan nyata di tiap wilayah. Data harus diolah, dipetakan, dan ditindaklanjuti.
Ini menjadi penting persis karena anak-anak adalah masa depan bangsa. Namun bagaimana mungkin, jika 45.268 anak di NTT tanpa akses Pendidikan?
Apakah kita ingin melihat mereka tumbuh sebagai generasi tanpa daya saing, atau kita mau ambil langkah sekarang dan menjadikan mereka generasi emas dari Timur Indonesia?
Peringatan Hari Anak Nasional seharusnya menjadi momen refleksi bukan sekadar selebrasi. Pemerintah, masyarakat sipil, dunia usaha, dan kita semua harus bersinergi untuk menyelesaikan krisis pendidikan yang terlupakan ini. Kita tidak bisa terus menyalahkan faktor alam, geografis, atau adat istiadat sebagai dalih.
Keadilan Pendidikan adalah Harga Mati
NTT bukan daerah tanpa harapan. Ia kaya akan budaya, solidaritas masyarakat, dan semangat juang anak-anaknya. Namun, semua itu akan sia-sia jika tidak didukung oleh akses pendidikan yang merata dan berkualitas.
Pemerintah harus berhenti menjadikan pendidikan sebagai proyek politis, dan mulai menjadikannya sebagai kebutuhan hidup dan masa depan bangsa. Karena pendidikan bukan hanya soal sekolah, melainkan soal keadilan dan harga diri sebuah bangsa.
Redaksi Pandu